Chapter 57. Menunggu

61.9K 4.1K 271
                                    

Happy Reading
.
.
.
________

Darren menatap datar pada televisi yang menyiarkan sebuah berita tentang pertambangan minyak di luar negeri. Raga laki-laki itu ada di sini tapi tidak dengan pikirannya yang melayang kemana-mana. Pikirannya dipenuhi wajah seorang gadis yang selalu ia bayangkan setiap malam kala ia tidak bisa tidur.

Darren terkekeh sendiri kala bayangannya menampilkan wajah Aira yang cemberut. Terlihat menggemaskan. Wajah Aira yang tersenyum serta tutur katanya yang lembut membuat kedua sudut bibir Darren terangkat dengan sendirinya. Juga saat Aira berjalan dengan perut buncitnya membuat Darren ingin memakannya hidup-hidup.

Tapi lagi dan lagi kenyataan menamparnya begitu kuat ketika mengingat beberapa hari lagi adalah perceraian-nya. Jika bisa meminta, Darren hanya ingin memulainya kembali dari awal. Mencintai Aira, memberinya kebahagiaan, menyayanginya, dan hidup bahagia bersama dengan anak mereka.

Namun sayang Darren tidak akan pernah memiliki Aira lagi untuk bersamanya. Keputusan Aira yang ingin pisah meski Darren sudah mengemis-ngemis tidak akan pernah berubah. Gadis itu tetap kekeuh dengan pilihannya. Bukan, tapi gadis itu sedang mengabulkan keinginannya hari itu yang membuat Darren sampai sekarang merutuki kebodohannya.

Seharusnya ia tidak melampiaskan kemarahannya pada Aira, hanya karena kehadiran gadis itu yang seakan mengekangnya. Tapi sungguh, saat itu Darren belum terlalu menyukai Aira walau jantungnya sering bereaksi tidak normal hanya karena berdekatan atau matanya bertemu dengan manik sang istri.

Darren menghembuskan napasnya kasar. Ternyata benar, penyesalan selalu datang di akhir. Dan kini Darren sedang mengalaminya.

"Ren, kamu kenapa gak sekolah?" Dinda datang duduk di sebelah Darren.

"Males."

"Kata guru kamu sering bolos, bener?" Tatapan Dinda menyelidik. Darren menghela napas.

"Hm."

"Darren, kamu udah kelas sebelas sebentar lagi kelas dua belas. Gak boleh main-main apalagi sampai bolos. Kalau kamu gak lulus gimana? Mama, gak mau ya gara-gara nama besar kita kamu seenaknya. Mama, pengin kamu usaha sendiri."

Darren hanya diam.

Dinda mengelus bahu Darren. Ia tau apa yang sedang anaknya pikirkan. Jujur, ia sedih melihat keadaan Darren yang jauh dari kata baik. Sering melamun, sedikit pendiam, tersenyum sendiri, kadang tertawa sendiri, bahkan tiba-tiba menangis. Dinda takut anaknya terkena gangguan jiwa.

"Ren, kamu gak gila kan?" Tanya Dinda takut-takut.

Darren menaikkan sebelah alisnya. "Mama doa'in aku gila?"

Dinda menggeleng. "Bukan. Mama cuma takut aja kan siapa tau kamu gila. Soalnya akhir-akhir kayak..." Dinda membentuk garis miring menggunakan telunjuknya.

Darren melotot. "Gak lah! Mana ada aku gila! Mama ada-ada aja deh!"

"Yah...kan siapa tau."

Darren menggeleng pelan. Setelahnya hening. Dinda yang mendapat panggilan pamit meninggalkan Darren yang termenung di sofa.

"Sayang, kamu lagi ngapain? Kamu gak kangen aku? Kamu..udah ada pengganti aku? Jahat kamu kalo gitu" ujar Darren mengerucutkan bibirnya. Darahnya mendidih kala membayangkan Aira bersama dengan laki-laki lain.

"Sialan!" rutuk Darren melempar bantal sofa sembarangan.

Ponsel diatas meja berdering.

Dito is calling....

"Hm."

"Ren, nanti malam kita balapan. Lo mau ikut?"

Darren berpikir. "Jam berapa?"

Darren : My Husband [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang