#81

857 137 40
                                    

"Huweee!"

"Aduh, aduh. Anak Ibu kenapa menangis?"

"Ayah mencopot roda bantu di sepedaku!" Kau sesenggukan, bergantian menunjuk-nunjuk sepeda yang terparkir asal di halaman dan ayahmu yang berdiri dengan raut gelisah.

Ibu menatap tajam Ayah, tetapi Ayah secepat kilat menjabarkan alasan inspiratif bahwa sudah saatnya bagimu untuk menginjak tahap selanjutnya dalam tangga kehidupan dengan belajar bagaimana caranya untuk mengendarai sepeda roda dua.

"Gara-gara itu aku jadi terjatuh!" Kau masih belum berhenti merengek, melirik lututmu yang lecet penuh darah. Semakin lama kau memelototi lukamu, semakin besar keinginanmu untuk menjerit kesakitan seakan lututmu itu sedang mengalami cidera paling parah sedunia. "Lalu sepedaku," lanjutmu, menarik napas panjang sebagai persiapan untuk mengeluarkan pekikan yang bisa membuat tuli satu rumah. "Sepedaku hancur menabrak tiang!"

Sembari mati-matian menahan diri untuk menutup sepasang telinga yang berdengung diserang raungan tangis yang memekakkan, Ibu mengusap lembut kepalamu dan bersenandung merdu untuk menenangkanmu. "Sakit, ya?"

Teriakanmu menjawab segalanya.

"Sudah, sudah." Ibu meniup lututmu dan seketika luka disana lenyap tak membekas, namun kau masih menangis. "Yang mana lagi yang sakit?"

"Sepedaku rusak!" keluhmu, tidak memperhatikan Ibu yang perlahan bergerak menuju halaman dan kembali dudul lagi di hadapanmu. "Sepedaku—"

"Tidak rusak, tuh."

Kau memelankan isakanmu sejenak untuk menoleh ke halaman, lalu terperangah mendapati kondisinya sudah berubah sedia kala. Tidak ada lagi besi yang penyot atau keranjang yang sekrupnya copot separuh. Sepedamu sempurna, bahkan dengan roda-roda bantu yang seharusnya sudah dibongkar.

"Lho, kok bisa?" Kau tersenyum lebar melirik Ayah, namun yang dilirik hanya tersenyum miring sembari mengangkat bahu memberi isyarat bahwa bukan dia yang baru saja menyulap sepedanya sehingga kau mengerutkan dahi pada Ibu dengan perasaan bertanya-tanya.

Ibu malah bertanya balik. "Y/n, apa quirk Ibu?"

"Menghilangkan rasa sakit dengan sentuhan...?"

"Betul!" Ibu tersenyum hangat, memeluk tubuh mungilmu dan membuatmu tertawa karena geli. "Jadi, jangan khawatir."

"Apapun yang terjadi, Ibu akan selalu berada di sampingmu untuk menghilangkan semua rasa sakitmu.

Seperti sentuhan sulap yang penuh keajaiban!"

—kemudian, angin mulai berhembus lagi.

Tepat ketika kau tengah memikirkan sebuah kilas balik yang tiba-tiba bangkit dari kuburan memori masa kecilmu, sebersit cahaya putih yang berkilauan kembali terpancar dari dalam dirimu. Hal tersebut sempat menimbulkan kepanikan singkat dari para pahlawan, namun situasi kembali tenang ketika mereka bisa merasakan bahwa cahaya tersebut menguar lembut mengitari dirimu bagai sebuah pelindung.

Kau menyentuh pipimu, terasa basah. Kehangatan yang familier memenuhi dirimu, terasa seperti sebuah nostalgia. Sensasi hangat yang terasa begitu tulus dan lembut, bagai suatu ketenangan yang akan selalu menjadi tempatmu berpulang untuk merasa damai.

Seperti pelukan Ibu.

"Berarti, suara-suara tadi..." Penglihatanmu diburamkan oleh genangan air mata, memandang nanar cahaya yang menyelimutimu. "Bagaimana bisa—"

"Y/n-san, lihat!"

Belum selesai ketidakpercayaan menguasai dirimu, hembusan angin yang tadi datang bersamaan dengan sang cahaya tiba-tiba berkobar kencang dan menerbangkan seluruh keping kristal yang berserakan di selipan rumput dan tanah. Kau hampir saja berteriak panik, namun angin tersebut berubah arah menuju dirimu bagai sebuah alunan yang anggun, membawa keping-keping ungu yang berkilauan dalam sebuah barisan yang urut dan perlahan saling menyusun menjadi sesuatu yang utuh.

Midoriya yang hanya menatap segalanya dari jarak dekat mematung, gemetaran di tempat ia berpijak sembari berbisik lirih: "Bohong."

Ucapan yang sama keluar dari mulut Yaoyorozu, yang tengah terperangah lemas seakan semua ini hanyalah mimpi semata: "Mustahil."

Alih-alih mengeluarkan sepatah kata, kau bahkan merasa dirimu tak sanggup lagi untuk bernapas.

Seluruh kepingan kristal tersebut berputar di pangkuanmu, tersusun rapi menjadi sebuah wujud yang terlalu familier untuk sekadar kau kenali. Ungu transparan yang tadinya berkilau bagai sepatu kaca, berubah menjadi rangkaian palet warna-warni yang terlihat hidup. Sesuatu yang tadinya rapuh dan tak berarti, berubah menjadi sesuatu yang cukup kokoh dan terasa begitu hangat di ujung jari.

Kau menarik napas, berteriak memanggil namanya.

Sesuatu yang tadinya hancur, kini telah hidup kembali. 

---------------

Iya, kalian gak salah lihat kok.
Setelah setahun, Se akhirnya kembali untuk menamatkan cerita ini.

When Frozen Melts [todoroki shouto X reader]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang