Kau berjalan lesu. Hidungmu terasa perih, menyebabkanmu tersendat berulang kali. Tenggorokanmu pun rasanya serak karena menangis terlalu keras. Ah, perpaduan yang begitu hebat nan menggerogoti jiwa sehat.
Kau menutup langkah terakhir begitu sampai di depan rumah. Kepalamu memiring bingung, bertatapan mata dengan seorang insan di hadapanmu. "Lho? Aku bilang besok saja di sekolah kan?"
Sepasang mata heterochromia itu berkedip satu kali sementara tangan pemiliknya memegang sebuah kartu. "Takut lupa. Tadinya aku mau menaruhnya di kotak posmu saja dan mengirim pesan lagi karena kau berkata tidak."
Kau menunduk tidak menjawab, bergumam pendek mengiyakan.
"Darimana saja?"
"Mau tahu saja." Kau tertawa pelan, meski suara tersiksa-mu benar-benar terdengar serak dan parau.
"Matamu sembab lagi seperti tadi pagi." Telunjuk Todoroki terangkat, mengarah tepat kepadamu.
Kau tertawa tersendat mengangkat bahu. "Beneran?"
Todoroki mengangguk pelan, tangannya menyodorkan kartu tersebut. Kau mengambil kartu pelajar berkepemilikan atas namamu itu dan menjejalkannya kedalam tas.
Todoroki menatap jalan. "Kau tahu, aku minta maaf."
Kau mengerut dahi.
"Aku minta maaf seandainya kau masih menangisi hal saat aku menjauhimu waktu itu. Aku sungguh minta maaf." lanjut Todoroki, tubuhnya membungkuk canggung sedikit.
Kau bergeming. Sejenak kemudian wajahmu melukis riang. "Bukan karenamu, kok, Todoroki." Bibirmu menerbitkan senyum tulus. "Aku hanya sedikit capek."
"Begitu." jawab Todoroki seolah mengerti. Todoroki memutar tubuhnya dan beranjak bubar jalan. "Jaga dirimu."
Kau tersenyum lebar melambaikan tangan pada pemuda yang nampak punggungnya mulai menjauh dan menghilang di belokan lorong-lorong.
Saat kau melihat punggungnya menjauh itulah, kau memikirkan sesuatu.
Sialan. Kau mengucek mata, merasakan panas datang menyeluruhi matamu dan itu bukan tanda yang baik. Masa kau harus menangis terus?
Walaupun memang benar, menyesakkan.
Saat melihat punggungnya menjauh,
kau bisa tahu bahwa kau tidak akan pernah pantas untuk mengerjar dan meraihnya.Tidak akan pernah.
Kau mengeratkan genggaman pada tali tas, seraya mendekati pintu rumah dan berkata bahwa kau sudah pulang.
"Kau sudah pulang, y/n! Eh, kenapa matamu merah begitu?" tanya Bibi beruntun begitu ia melihatmu melepas sepatu dan menatanya di rak.
Kau tersenyum mengibaskan tangan. "Aku tidak apa, Bi. Hanya galau sedikit."
Bibi hendak menyahut lagi kalau kau tidak keburu berlari masuk ke kamar dan mengunci diri, menandakan bahwa kau tengah malas dengan sosialiasi.
Bibi membuang napas. "Dasar remaja. Galau-galauan terus."
Kau menjatuhkan tasmu begitu saja dan melempar kaus kaki ke keranjang cucian. Kau mengendurkan dasi kemudian mendudukkan diri pada tepi ranjang menatap ponselmu.
Jemarimu bergerak, merangkai sebuah pesan utuh untuk dikirim pada seseorang karena kau merasa bersalah.
Napasmu terhembus begitu tombol terakhir ditekan. Setelah itu kau membuka aplikasi lain, mulai mengetik dan melakukan panggilan keluar.
Nada tunggu berbunyi pelan di telingamu. Kau menunggu orang yang kau hubungi itu untuk segera menjawab.
"Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif-"
Kau langsung menekan tombol merah begitu suara operator bising itu berbicara. Napasmu terhembus kecewa.
Yah, nanti saja deh, kau hubungi lagi. Mungkin dia sedang sibuk.
Kau mematikan ponsel, menancapkan charger dan meningkatkan persentasi isi baterai. Setelah itu kau membuka pintu dan mendapati Bibi tengah mengoceh sendiri di depan kulkas.
"Ada apa, Bi?" Kau mendekat ke belakang Bibi.
Bibi menegakkan punggungnya dan menoleh kearahmu. "Ah, tidak. Sepertinya persediaan telur dan beberapa sayuran lain sudah menipis, jadi nanti malam Bibi mau keluar sebentar."
Kau mengangkat alis. "Kenapa tidak aku saja?"
"Eh? Biasanya kalau malam kau sering keluar kan?" tanya Bibi. Kau tersenyum kaku kalau mengingat sering keluar malam untuk mengeksekusi orang.
"Aku malam kali ini lowong, kok!" sahutmu cepat. "Jadi, biar aku saja yang pergi, oke?"
Bibi mengerutkan dahinya, ragu. "Kau yakin? Kau sendiri yang bilang sedang galau, kan?"
Kau tertawa mengibaskan tangan. "Kurasa itulah kenapa aku butuh sedikit jalan-jalan."
"Yasudah, deh." jawab Bibi, menghela napas lega. "Sekalian belilah beberapa makanan ringan untukmu juga."
"Yes, hore!"
"Sudah sana, sekarang kau mandi!"
"Baiik~"
--------Todoroki baru saja masuk ke kamar ketika ponsel miliknya bergetar menerima pesan. Sigap, ia membukanya dan mulai membaca tiap-tiap alfabeta.
Lelaki bersurai merah putih itu mengeluh pelan. Dilemparnya ponsel miliknya keatas futon yang belum sempat ia bereskan tadi pagi.
Gadis itu selalu saja tersenyum..
Todoroki melepas dasinya, dan mulai membuka kaitan kancing kemejanya.
..aku penasaran berapa banyak luka yang masih ia sembunyikan dariku.
-------
To: T.Shouto
From: y/n
Subject: Maaf.
Maaf membuatmu khawatir, aku baik-baik saja. Btw, makasih atas kartu pelajarnya! Maaf juga tadi aku tidak banyak bicara, aku sangat lelah tadi T_TP.S: Terserah kau, deh, mau bilang apa. Pokoknya makasih karena udah ngepel buat bagianku.
Benar-benar deh. Kau ini kelewat baik. Terima kasih! :")
---------------OKE PERTAMA TAMA OMONG KOSONG BANGET YA SE MAU DOUBLE ATAU TRIPLE UPDATE KEMARIN ITU YAAMPUN HUHUU MAAF UDAH PHP MAAF BANGET
Jadi kemarin itu Se gaenak badan teman-teman, dan akhirnya hari ini saya flu dengan hidung yang gatelnya gak ketolongan:"))
Doain aja semoga besok bisa update seperti biasa, yaa~ Se juga gatel pengen ngelanjutin wfm terus kokk:(
Doain Se cepet sembuh ya h3h3
Ini gara gara keasikan begadang main Mystic Messenger kayaknya jadi agak capek juga bawaannya HEHETerima kasih sudah membaca
Tunggu kelanjitannya ya:)!ea bentar lagi lebaran cui wkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
When Frozen Melts [todoroki shouto X reader]
FanfictionKau hanya siswi yang menyimpan dosa besar mengenai kecurangan yang menjadi rahasia bakat yang selalu menghantui kehidupan normal mu. Dan dia hanya siswa bersurai merah putih pendiam penyimpan dendam karena kejadian masa lalu yang sudah membuat hati...