#46

1.8K 290 36
                                    

Tangan Midoriya mengusap layar ponselnya yang penuh oleh pasir.  Ia membuang napas, ini gara-gara Bakugou yang tadi melempar asal ponselnya karena kaget saat kau datang.

"Masih bisa nyala?" Kau menghisap ujung ibu jarimu, menghilangkan jejak bakpau yang lengket.

"Masih, tapi layarnya jadi lengket." jawab Midoriya sembari menyimpan ponselnya ke saku celana. "Ah, tapi ini bukan salah y/n-san, kok!"

"Yah, separuh salahku, separuh karena sikap kaget Bakugou, sih." Kau mengangkat bahu, hanya dibalas tawa pelan oleh Midoriya.

Pada akhirnya, kalian malah menikmati bakpau daging sembari menduduki pasir di pinggiran pantai dibanding berlatih seperti biasa.

Midoriya menggigit bakpau di tangannya. "Hei, y/n-san."

"Ya?" Kepalamu tertoleh ke arah Midoriya. Agak iri karena bakpau miliknya belum habis sementara punyamu sudah.

"Sebenarnya, dari siapa quirk Controller dan Painkiller milik y/n-san itu?" tanya Midoriya. Meski dia mengucapkannya sembari mengunyah, kau dengan jelas mendengarnya dan merasa kaget. "Aku baru kepikiran kalau kau tidak pernah mengatakannya."

Tenggorokanmu terasa kering. Entah itu efek setelah makan atau karena tidak tahu balasan yang tepat untuk pertanyaan Midoriya.

Tapi kau sudah memutuskannya.

"Orang tuaku." jawabmu pelan, menundukkan kepala menatap pasir.

Midoriya terlihat bingung. "Orang tuamu? Mereka sudah meninggal, bukan?"

Karena kau bergeming saja, maka Midoriya merasa tidak enak. "E-eh, kalau begitu lupakan saja-"

"Tidak." Kau menarik napas senagai persiapan. "Tidak apa."

Lalu kau memulainya. Menceritakan bahwa orang tuamu masih hidup, dibawah penyanderaan Shigaraki. Menceritakan bahwa batu jiwa orang tuamu seratus persen penuh di tubuhmu. Menceritakan bahwa mereka lah alasan pembantaian yang kau lakukan.

Midoriya ternganga. Bakpau di pegangannya terjatuh ke tanah.

"B-begitu rupanya-" tanggap Midoriya. Termasuk tanggapan yang pendek jika dibandingkan dengan penjelasanmu tadi. "-tapi, kenapa tiba-tiba menceritakannya padaku?"

"Awalnya aku sendiri juga ragu, tapi entahlah. Kurasa suatu hari nanti ada manfaatnya aku menceritakan ini padamu." Dengan telunjuk kau mengukir beberapa pola pada pasir pantai, semakin memeluk lutut dalam dudukmu. "Waktu itu, kau memergokiku tengah menelpon Shigaraki, kan?"

Teringat, Midoriya mengangguk. Kejadiannya akhir pekan lalu ketika kalian semua tengah makan siang di restoran cepat saji selepas mengerjakan tugas di perpustakaan.

"Shigaraki bilang bahwa Todoroki adalah targetku yang terakhir. Setelah aku menyerahkan batu ungu Todoroki padanya, maka aku diperbolehkan untuk memasukkan kembali batu jiwa ke dalam orang tuaku dan akan hidup dengan bebas." jelasmu murung. Masih mencoret-coret pasir.

Ketengangan tumpah berkali lipat pada ekspresi Midoriya. Tentu saja tidak nyaman membicarakan rencana pembunuhan seperti ini. Apalagi targetnya merupakan seorang teman dekat.

"Deadlinenya enam hari lagi." lanjutmu karena Midoriya tidak mengatakan apapun.

Midoriya mengangguk patah-patah. "Y/n-san, k-kau akan membunuh Todoroki-kun?"

Tubuhmu bergidik disertai bulu kuduk yang meremang. Kau reflek mengangkat dagu dan menoleh ke arah Midoriya. Telunjukmu berhenti menari pada pasir serempak dengan senyummu yang seutuhnya menghilang dari wajahmu.

"Apa?" Suaramu parau. Rahangmu mengeras sembari mengulum bibir. "Jangan bilang begitu dong, Midoriya."

Midoriya lebih memilih menunduk, tidak sanggup membalas tatap kosongmu yang menusuk penuh ketidak percayaan. "M-maaf.."

Dua kata yang sederhana. 'Bunuh' dan 'Todoroki'. Lebih dari sanggup untuk membuatmu merasa lemas dan dadamu sesak. Sama seperti sekarang setelah Midoriya dengan bodohnya mengucapkan itu.

Kau menarik napas. Hidungmu mulai berair. Jangan tanya, sepasang matamu sudah daritadi berkaca-kaca. "Aku melarang diriku untuk dekat dengannya sejak awal masuk U.A.."

Midoriya diam-diam melirikmu ragu.

Kau terkekeh, menutupi wajah dengan tangan. "Tetapi aku malah terperangkap oleh perasaanku sendiri."

Midoriya merasa iba. Ia menegakkan kembali posisi duduknya dan berdeham pelan. "Kenapa kau tidak memperbolehkan dirimu untuk dekat dengan Todoroki-kun?"

"Kurasa aku sudah pernah bilang itu rahasia, kan?" Suaramu terdengar keras karena tangan yang menutupi wajahmu.

Helaan napas terhembus dari Midoriya. Ia tersenyum, menatapmu yang menyembunyikan ekspresi. "Orang tua atau Todoroki-kun, ya.."

Bergeming sebagai responmu, Midoriya terus berbicara lagi.

"Kau kuat sekali, y/n-san." ujar Midoriya. Kau terkejut karena Midoriya menarik paksa telapak tangan yang menutupi wajahmu. Midoriya tersenyum pahit, sementara pipimu terus menjadi landasan bergulir air mata. "Menderita sejak kecil dan menyimpannya sendiri, kau sangat kuat."

Kau makin terisak.

"Terima kasih sudah mau bercerita padaku dan percaya." Senyum Midoriya merekah ramah. Jarinya bergerak menghapus air yang menggenang di sudut matamu. "Aku yakin aku pasti bisa menolongmu!"

Awalnya kau hanya termenung, tetapi kau segera menurunkan tangan Midoriya dari wajahmu dan tertawa serak.

Kau mengusap wajahmu dengan napas tersendat. "Terima kasih sudah mau mendengarkan dan merahasiakannya, itu sudah sangat menolongku."

Midoriya membuang napas. Lega melihatmu kembali tertawa. "Tapi, tetap saja, k-kenapa kau bisa percaya sekali padaku?"

Kau meluruskan kaki, menopang tubuh dengan telapak tangan pada sisi badan. "Midoriya anak yang baik, aku tahu."

Midoriya mengangguk, melempar tatap pada hamparan laut. "Todoroki-kun sangat beruntung bisa dicintai orang sekuat dirimu."

"Hei, dia malah dalam bahaya karena aku, tau." Kau berdiri. Tanganmu bergerak menepuk bokong dan area pakaian untuk menghilangkan pasir yang menempel.

Midoriya tertawa, mengiyakan meski tidak setuju. "Sudah mau pulang?"

"Iya, payah nih. Kita gak olahraga sama sekali!"

"Haha, kira-kira karena siapa, ya?"

"Heh, awas ya kau! Sudah, ah, aku mau kembali saja."

"O-oh, oke, sampai jumpa besok di sekolah!"

Kau melambaikan tangan pelan, mengusap wajah yang masih sembab dan merah. Cahaya ungu membungkus dirimu, lalu menghilang dalam satu kedip mata seiring berhasilnya berteleportasi kembali ke rumahmu.

Midoriya membuang napas. Menarik tangannya yang baru saja membalas lambai, lalu ikut berdiri dan beranjak pulang.
-------------------

SORE INI SE BALIK KE ASRAMA LHO HAHAHAHA
MAAF YA, Ternyata WFM belum bisa tamat selama liburan ini:")

Se mikirnya padahal sebelum liburan tamat udah tamat duluan uhuhu

TAPI GAPAPA
TIAP DUA MINGGU SEKALI SE BALIK DARI ASRAMA DAN BAKAL UPDATE!

Semoga kalian mau bersabar, ya, hehehe..

Semoga nanti sebelum balik Se bisa update satu atau dua chapter lagi yaa

Terima kasih sudah menunggu dan membaca
Tunggu kelanjutannya, ya!

When Frozen Melts [todoroki shouto X reader]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang