#25

2.7K 415 149
                                    

Todoroki's POV.

"Nih," Iida mengaktifkan layar ponselnya dan mengarahkannya tepat didepan kedua mataku. "Pesan yang y/n kirimkan padaku."

"Bukannya atap selalu dikunci?" Aku menatap Iida yang menaruh fokus pada ponselnya.

"Memang, tapi kau bisa meminta kunci dari ruang guru." sahut Iida, menatap balik padaku. Aku bergumam. Aku baru tahu.

"Ah, tapi beberapa saat yang lalu dia mengirim email lagi, lho." Jemari Iida bergerak, mulai mengetuk-ngetuk layar dan berhenti setelah beberapa sentuhan. "Tidak usah dijemput, katanya."

Mendadak salah satu detakan jantungku mengencang.

"Boleh aku lihat?" Aku mengulurkan tangan, berisyarat agar Iida memberikan ponselnya. Aku sendiri tidak tahu kenapa menjadi grogi begini.

Iida tersenyum. Ia meletakkan ponselnya diatas tanganku. "Berarti kalian ini benar-benar dekat, ya?"

Aku diam tidak menggubris. Mataku melihat ponsel, mengeja tiap rentet alfabet yang tertera.

Mataku melebar. Aku merasa janggal dan tidak enak.

"Jam istirahat sebentar lagi habis, kan?" Aku menaruh ponsel Iida di atas meja, melirik pintu kelas yang menjulang.

Iida bergumam iya sementara tangannya mengembalikan ponsel kedalam saku. Ia mendongak memerhatikanku. "Kau mau apa, Todoroki? Sebaiknya kau bersiap di bangkumu, setelah ini pelajaran Matemati-"

"Aku pergi sebentar." Kakiku bergerak melangkah ke arah ke arah pintu, memotong ucapan Iida. Aku menggeser pintu, mulai berjalan cepat di sepanjang lorong. Aku bahkan tidak lagi sempat untuk mendengar teriakan Iida.

Aku berbelok menuju tangga dan mulai menapaki tiap tingkatannya cepat. Begitu sudah sampai, aku mendapati pintu dengan kenop yang masih utuh. Tidak seperti kejadian bersama Tsuyu kemarin dimana y/n meleburkan kenopnya dan menciptakannya kembali.

Aku sudah hendak memutar kenop jika sebuah suara tidak menghentikanku.

"Y/n, bangun."

Suara itu? Dari balik pintu ini?

Aku mengerutkan kening. Sudah kuduga y/n tidak sendirian di atas atap ini. Bagus, entah kenapa aku semakin tidak suka dengan tambahan fakta bahwa itu adalah suara laki-laki.
Aku menarik pintu sedikit, membuat celah untuk melihat yang terjadi.

Alisku terangkat begitu melihat seorang siswa tengah berjongkok didepan y/n yang duduk bersandar memeluk lututnya sembari menenggelamkan kepalanya. Laki-laki itu memegangi bahunya, menepuk sekali dua kali.

"Y-y/n, bangun. Waktu istirahat hampir habis. Kau sendiri yang minta dibangunkan, kan?" lanjut laki-laki itu, masih mengguncang bahu y/n pelan.

Cengkramanku semakin erat pada pintu. Siapapun kau, lepaskan tanganmu darinya.

Perempuan itu akhirnya bergerak sedikit menanggapi sentuhan dari siswa didepannya itu. Kepalanya terangkat kemudian sibuk mengucek matanya untuk memperjelas pandangan. "Ah, terima kasih, senpai."

Aku mendengus. Senpai, katanya? Sejak kapan dia akrab dengan senior laki-laki?

Senior itu tersenyum miring dan menegakkan kakinya berdiri. "Mau turun bersama?" Ia bertanya pelan pada y/n yang masih mengerjap karena masih merasakan berat pada kedua matanya.

"Terima kasih, tapi senpai turun duluan saja, deh. Aku masih mau disini. Aku yang pegang kuncinya, deh." jawab y/n yang menatap senior itu dengan mata setengah tertutup. "Masih ada berapa menit lagi sebelum bel berdering?"

When Frozen Melts [todoroki shouto X reader]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang