Malam ini sangat ramai.
Tapi, ini sudah biasa untuk seorang 'pelaksana-tugas' sepertimu. Dalam kondisi seperti ini, memancing Kamui untuk masuk ke dalam gang sempit tidak sulit sama sekali. Yah, kebetulan sekali hero ini sedang sendirian.
"H-hero. Anda hero, kan?!" ucapmu, setengah menjerit namun tetap tenang. Pokoknya jangan sampai mengundang banyak tatap mata.
Kamui mengalihkan pandangannya dari ponsel di genggamannya, menatapmu. "Ada apa?"
Perfect.
"Didalam gang itu! Tolong bantu temanku sedang diperas dan dilukai di dalam sana! Aku mohon!" Kau seakan berusaha menahan tangis dan seakan benar-benar butuh bantuannya.
Memuakkan.
Kamui menjejalkan ponselnamya ke saku, meneliti rinci penampilanmu dari atas hingga bawah, sedikit mengangkat alis. Mungkin karena kardigan panjang cokelat dan sarung tangan hitam yang kau kenakan.
"Tenanglah, tunjukkan aku arahnya." Kamui memegangi kedua bahumu dan kau mengangguk. Mulai berjalan agak cepat dengan Kamui mengekor dibalik punggungmu.
Semakin mempelosok, dan semakin gelap.
"Kamui-san," Langkahmu terhenti, dengan sigap berbalik dan memegang tangan Kamui erat. "Maafkan aku."
Kamui bahkan tidak sempat mengambil napas sebelum kesadarannya hilang dan terjatuh menyandari dinding gang.
Kau menggenggam batu ungu besar yang baru saja keluar dari tangan Kamui dengan tangan kirimu. Tangan kananmu merogoh kantung bagian dalam kardigan, mengeluarkan pisau lipat.
Walau sudah berkali-kali melakukannya, sensasi takut dan gemetaran itu selalu ada.
"Maafkan aku."
Tangan kananmu terayun, menghujam Kamui yang terkulai tak sadar. Tepat pada bagian dada dimana jantung Kamui terletak dan berdetak.
Darah mengalir. Membuat merah semuanya.
Tepat setelah kau membuang napas lega, bunyi tapak kaki nyaring memacu jantungmu terpompa cepat kembali. Tapak kaki itu terhenti, bersamaan dengan datangnya seseorang dari arah lain gang sempit ini.
Kau menoleh, panik. Dadamu sesak, jantungmu terloncat hebat sampai-sampai kau tidak bisa merasakan darah mengalir lagi di sekujur tubuh. Beku, diam terpaku.
"M-Midoriya?"
Benar, itu Midoriya Izuku. Salah satu teman sekelas, sekarang menjadi saksi atas pelaksanaan tugasmu.
"Y-y/n-san? K-kenapa kau-" Perkataan Midoriya terputus-putus, super gugup. Kau sendiri meneguk liur berat, bingung.
"M-Midoriya, tidak, ini.." Kau bisa saja mengelak jika tidak sedang menggenggam pisau lipat berlumur darah. "T-tolong jangan panggil siapapun!"
Midoriya melangkah mundur. Napasnya terengah, takut. Siapapun juga pasti akan begitu. Berusaha menjauh.
Menjauh.
"Tidak, tolong-"
Lalu akhirnya meninggalkan.
"-tolong jangan menghindar seperti itu.." ucapmu lirih, menjatuhkan pisau ke tanah. Matamu terasa perih, pandanganmu mengabur hingga satu-dua air menetes dari ujung matamu.
Midoriya terkesiap. Pasalnya, kau menangis di hadapannya.
"Tolong aku.." isakmu. Kakimu terlalu lemas sehingga lututmu jatuh menghantam bumi. Terduduk lemah.
"Y/n-san.." Midoriya mulai bersikap normal. Perlahan mendekat. Begitu ia sudah berdiri didepanmu yang terduduk menutup wajah, tangannya mendarat di atas kepalamu. Mengusap rambutmu pelan, membuatmu terkesiap.
"Baiklah, aku tidak akan menjauh."
Matamu membola. Kau mengangkat dagumu cepat, menatap tidak percaya. Melihat senyuman Midoriya, yang murni hangat dari sorot matanya.
"Dan kau, bisa mulai menjelaskan padaku."
-----AWWWWWWWWWWW
banget atuh rambut brokoli mah:"""((
EAK Penasaran ya y/n mau njelasin apa wekeekeeOh ya kalean, just for information sih, tapi Se punya akun instagram. Mungkin kalian ada yang mau ngontak atau sekadar ngepoin (hilih :V), bisa lewat sanaa:>
memang baru buat kok HAHA
Terima kasih sudah membaca,
tunggu kelanjutannya ya:)!Bonus:
"hikz sedi di chapter kali ini gaada aku"
sabar aja yak, Todoroki (beserta fansnya) :")))
KAMU SEDANG MEMBACA
When Frozen Melts [todoroki shouto X reader]
FanfictionKau hanya siswi yang menyimpan dosa besar mengenai kecurangan yang menjadi rahasia bakat yang selalu menghantui kehidupan normal mu. Dan dia hanya siswa bersurai merah putih pendiam penyimpan dendam karena kejadian masa lalu yang sudah membuat hati...