Bab 9

5.8K 324 0
                                    

Ig : @nis_liha
HAPPY READING!

-----
"Yang orang butuhkan ketika dirinya terburuk adalah dukungan. Bukan rasa kasihan."

"Lo nangis?"

Gista yang semula menyembunyikan kepalanya di antara kedua pahanya, mendongak. Matanya yang berair bertemu dengan manik mata tajam milik Ganes yang menyandarkan punggungnya di pintu menuju balkon kamarnya. Tangan cowok itu mengapit sebatang rokok yang sudah menyala.

Gista membuang wajah. Sialan. Sejak kapan Ganes berada di balkon kamarnya. Seingatnya tadi ia sudah mengusir Ganes. Kenapa dia tidak sadar kalau Ganes sudah berdiri di sana?

Cowok yang kini mengenakan singlet hitam dan celana boxer itu menegakkan tubuhnya. Berjalan menuju pembatas balkon. Menyesap rokoknya dalam-dalam.

"Seorang Gistara Arabhita yang suka nonjok cowok dan enggak pernah nunjukin tangisnya lagi semenjak satu tahun lalu." Ganes menjeda. "Sekarang... dia lagi nangis."

"Gue enggak salah lihat, kan?" tanya Ganes seolah tangisan Gista adalah sesuatu hal yang langka. Padahal, baru saja pagi tadi gadis itu menangis dalam dekapannya setelah sekian lama tak menunjukkan tangis di hadapannya lagi.

Bukannya Ganes mau meledek. Tapi, memang semenjak kepergian Kanaya dan Erlan. Gista tidak pernah menunjukkan tangisnya lagi di depan orang lain.

Bukan berarti Ganes tidak tahu kalau Gista menangis. Ganes tahu kalau nyaris setiap malam Gista selalu menangis di kamarnya atau di kamar Wening saat gadis itu mengunjungi mamanya, sendirian.

Ingin sekali Ganes mendekap gadis rapuh bertameng baja itu. Merengkuh tubuhnya. Menjadikan dadanya sebagai sandaran. Tapi, Ganes tidak mau menambah kemalangan gadis itu. Yang Ganes tahu Gista tidak suka ada orang yang melihatnya dengan tatapan iba. Jadi, ia memilih mendengarkan isak tangis Gista yang ditahannya dari luar kamar.

Cowok itu membalikkan badanya. Menyandarkan punggungnya pada pembatas balkon. "Mau sampai kapan lo nyembunyiin tangis lo terus, Gis?"

Gista bergeming. 

"Udah cukup lo tangisin mereka dan nyiksa diri sendiri kayak gini. Biarin mereka tenang di alam sana. Mereka bakalan sedih kalau liat lo di sini nggak bisa berdamai dengan semuanya."

Bukan hanya sekali Ganes membahas topik tentang dirinya yang belum bisa mengikhlaskan kepergian Kanaya dan Erlan. Sudah sering Ganes seperti ini. Memintanya untuk berdamai dengan keadaan dan menganggap apa yang terjadi dengan Kanya itu adalah takdir Tuhan.

Gista ikut berdiri dan menyandarkan tubuhnya di sebelah Ganes.

"Tapi, gue masih nggak terima dengan  kejadian yang menimpa Kak Naya, Nes. Gue belum bisa ikhlas dengan kepergian mereka yang kayak gitu," tangis Gista kembali pecah.

Masa bodo dengan Ganes yang masih berdiri di tempatnya. Toh, laki-laki itu saat ini sudah menangkap basah dirinya yang menangis. Bahkan, pagi tadi ia juga menangis di dada bidang cowok itu saat masih berada di gudang.

Entah mengapa, sejak pagi tadi ia jadi lebih cengeng dari biasanya dan tidak bisa menahan tangisnya di depan orang lain.

"Kalau aja Kak Naya enggak diperkosa. Mungkin. Papa sama Kak Naya masih ada. Dan Mama..." Gista mengatur napasnya agar tidak terisak.

"Mama... nggak bakalan kayak gini, Nes."

Ganes merubah mimik wajahnya. Kini tatapannya berubah sayu. "Gis," panggilnya.

Gista menepis kasar lelehan air matanya. Membuang muka ke samping. Memilih memandang taman bunga lili milik tantenya di bawah sana. Tidak mau menatap mata sayu Ganes. Gista tidak suka ditatap seperti itu. Tatapan itu seolah mengartikan bahwa seseorang itu begitu mengasihani dirinya. Gista tidak butuh dikasihani. Dia bukanlah perempuan lemah.

GISTARA (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang