Bab 41

3K 230 13
                                    

Ig : @nis_liha
@wattpadnisliha

-----

"Tidak perlu banyak bicara jika pada akhirnya tidak bertindak apa-apa."

~Magenta Sangga Daneswara

"Ini rumah sepi banget kayak kuburan," celetuk Janu mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah Gista.

Cowok itu berdiri di samping mobil Gista diikuti Anara yang baru saja keluar dari mobil.

Halaman rumah yang luas dengan kolam ikan di tengah-tengahnya, mirip dengan desain rumah Revan. Juga tanaman bunga lili dan mawar putih yang berjajar rapi di sisi kiri halaman mempercantik rumah berlantai dua milik Gista.

Memutari mobil, Manggala ikut bergabung bersama keempatnya. Berdiri menjulang di sebelah Gista yang tingginya hanya sebatas dagunya saja.

"Emang nggak ada orang ya di dalem?" Manggala membuka suara sembari membenarkan tatanan rambutnya.

"Yang nyewa kalau pagi kerja. Jadi, yang ada cuman pembantunya doang," jawab Gista mengamati lekat-lekat rumah peninggalan almarhum papanya yang masih menyimpan banyak kenangan.

"Tapi, tenang aja. Gue udah izin sama yang nyewa. Gue juga udah biasa ke sini."

Netra gadis itu bergulir ke arah gazebo yang terletak di sebelah tanaman bunga lili dan mawar putih di sisi kiri halamannya. Di sebelahnya ada sebuah ayunan kayu yang biasa ia dan kakaknya gunakan untuk menikmati malam dan melihat bintang bersama.

Ia menyentuh dadanya yang terasa sesak. Sedikit meringis merasakan sakit yang lukanya tak kasat mata itu. Lalu, menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar untuk mengembalikan mood-nya yang rusak turun hanya karena mengingat kenangan itu.

Sudah cukup sekali saja ia menangis di depan banyak orang sewaktu berdebat dengan Manggala karena Bianca yang menghina mamanya kala itu. Gista tidak mau mengulanginya lagi. Kala itu saja malamnya ia langsung memukuli tembok hingga tangannya memar karena menyesal telah membiarkan kerapuhannya dilihat oleh orang lain.

"Gimana? Mau masuk sekarang?" Manggala menyadarkan gadis itu dari lamunannya.

Gista mengangguk. Tak berbicara lagi dia melangkahkan kakinya menuju pintu utama rumah yang telah ia tinggalkan semenjak satu tahun lalu. Mengetuk pintu utama, gadis itu menunggu pembantu dari penyewa rumah ini membukakannya pintu.

Tak sampai dua menit. Perempuan dengan rambut yang diikat satu muncul usai membukakan pintu.

"Eh, ada Mbak Gista. Mari masuk, Mbak!" sapa perempuan berkepala tiga itu mempersilakan Gista beserta yang lainnya untuk masuk.

"Tadi Bapak sama Ibu sudah pesen sama saya kalau Mbak Gista mau ke sini," ucap perempuan itu tersenyum ramah pada kelima anak muda di depannya itu.

"Eh, iya, Mbak. Saya mau ke kamarnya Kak Naya. Ada sesuatu yang mau saya ambil," terang Gista.

"Oh, kalau begitu mari duduk dulu, Mbak. Biar saya ambilkan kuncinya."

Beberapa saat kemudian perempuan itu kembali dengan sebuah kunci dengan bandul berbentuk katana kecil di tangannya.

"Ini, Mbak kuncinya."

Gista menerima kunci itu lalu mengajak teman-temannya untuk mengikutinya. Tak lupa ia juga mengucapkan terima kasih pada perempuan itu.

Cklek

Gista membuka pintu berwarna coklat itu perlahan. Ketika tubuhnya telah masuk sempurna. Tangannya meraba saklar yang berada di samping pintu. Menyalakan lampu yang sinarnya sudah sedikit meredup. Dan mempersilakan keempat temannya itu untuk masuk.

GISTARA (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang