Bab 14

4.3K 304 18
                                    

Ig : @nis_liha
HAPPY READING!

-----
"Ada hal lain yang bikin seseorang itu sakit selain kepergian. Yaitu, ketika kita dekat, tapi terasa jauh di waktu bersamaan."

-Gistara Arabhita

"Lihat deh Ma! Ini ada bunga gardenia sama lili kesukaan Mama," tunjuk seorang gadis dengan rambut sebahunya yang digerai pada beberapa tanaman yang berada di taman belakang rumah Revan.

Sudah satu minggu semenjak diskors Gista hanya menghabiskan waktunya untuk sang mama. Dia ingin memerjuangkan kesembuhan Wening.

Gadis berambut sebahu itu mendorong pelan kursi roda Wening untuk mengelilingi taman. Udara pagi yang sejuk menguarkan aroma bunga-bunga di taman itu. Yang paling wangi adalah bunga gardenia dan mawar putih yang berjejer rapi di sisi kiri dan kanan jalan menuju tanah lapang yang terdapat meja, kursi, ayunan, dan rumah pohon tempat Revan sekeluarga mengadakan piknik kecil-kecilan saat weekend.

Dengan senyum tulus yang tak luntur dari bibirnya yang juga belum pernah ia tunjukkan pada siapapun setelah kejadian satu tahun silam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dengan senyum tulus yang tak luntur dari bibirnya yang juga belum pernah ia tunjukkan pada siapapun setelah kejadian satu tahun silam. Gadis itu terus mendorong kursi roda sampai berada di depan tanaman bunga lili..

Gista berjongkok di depan bunga kesuakaan mamanya. Menyentuh tangkainya dan mendekatkan ke hidungnnya. Memejamkan mata sesaat untuk menghirup aroma lili.

"Ini bunga buat Mama," ucapnya setelah memetik satu tangkai lili dan menyodorkannya pada sang mama.

Tapi, kedua tangan perempuan parubaya itu tak berpindah sedikit pun dari atas pahanya. Seperti tak ada niat untuk menerima bunga pemberian putrinya.

"Ma," lirih Gista dengan mata yang berkaca-kaca.

Tak ada jawaban. Perempuan di hadapannya itu hanya menatap kosong ke depan. Seolah tak ada kehidupan di bola mata teduhnya. Yang ada hanyalah sebuah kehampaan yang tak berujung.

"Mama nggak mau ya bunganya? Apa mama udah nggak suka sama bunga lili lagi?" Gista masih mencoba untuk berbicara dengan Wening meskipun ia tahu yang ia lakukan hanyalah sia-sia.

"Atau Mama mau Gista petikin bunga yang lain. Bilang sama Gista, Ma! Bunga apa yang mama mau?"

Hening. Hanya terdengar suara angin. Beberapa daun jatuh di antara keduanya. Embusan angin yang menerpa wajah Gista bukan hanya menerbangkan rambutnya. Tapi, juga menjatuhkan air dari kedua bola matanya.

Ya, lagi-lagi dia menangis.

"Ma, please! Jangan kayak gini terus. Gista kangen sama Mama."

Tak ada isakan. Tapi, air itu terus meleleh dari kedua matanya.

"Papa sama Kak Naya udah pergi tanpa bisa kembali lagi. Dan sekarang..." Gista memberi jeda untuk mengirup udara karena dadanya terasa sesak seakan kekurangan pasokan oksigen. "Jiwa Mama pergi tanpa bisa Gista gapai lagi."

"Ada hal lain yang bikin seseorang itu sakit selain kepergian. Yaitu, ketika kita dekat, tapi terasa jauh di waktu bersamaan. Gista bisa peluk Mama, tapi Gista nggak bisa ngerasain kasih pelukan dan kasih sayang Mama lagi. Itu bener-bener menyakitkan buat Gista, Ma."

Diraihnya punggung tangan kurus perempuan yang hanya diam dengan tatapan kosong itu. Dikecupnya lama sampai tangan itu basah oleh air yang mengalir dari kedua pelupuknya tanpa henti.

Bahu Gista bergetar. Dia menggigit bibir menahan isakan. Entah, kenapa akhir-akhir ini ia jadi sering menangis di depan orang lain. Kenapa ia bisa serapuh ini?

Gadis itu merunduk. Menenggelamkan kepalanya di atas paha perempuan yang hanya bergeming dengan tatapan kosongnya. Sebelah tangan Gista masih menggenggam tangan mamanya. Satunya lagi merengkuh pinggang Wening.

Kali ini Gista tidak bisa menahan isakannya lagi. Dadanya begitu penuh dan sesak. Ia rindu momen seperti ini. Dulu sewaktu masih kecil ia dan Kanaya sering melakukan seperti ini setiap malam. Tidur di pangkuan Wening. Gista di paha kiri dan Kanaya di paha kanan.

Semakin menenggelamkan kepalanya di depan perut sang mama. Gista mengirup aroma chamomile yang menguar dari tubuh Wening. Pasti Wina yang menyemprotkan minyak chamomile ke tubuh mamanya. Mengingat aroma chamomile adalah aroma kesukaan sang mama.

Tidak mengeluarkan sepatah kata lagi. Perempuan berambut sebahu itu memejamkan matanya. Dadanya yang semula sesak kini berangsur pulih.

Dari kejauhan seorang laki-laki parubaya menghela napasnya berat melihat pemandangan itu. Matanya berkaca-kaca, namun secepat kilat ia mendongak agar tidak sampai menjatuhkan air.

Laki-laki itu berbalik dan beranjak pergi dengan perasaan sesak yang memenuhi rongga dadanya. Perasaan yang semula dirasakan oleh Gista.

***

Aroma gurih bubur ayam menguar di dapur. Cewek dengan rambut yang dicepol asal itu mengangkat mangkuk bubur buatannya lalu mengirupnya.

"Bisa masak juga ternyata gue," lirihnya setelah mencium aroma gurih bubur.

"Lagi ngapain?" tanya seorang cowok jakung yang baru saja memasuki dapur.

"Lo nggak liat gue lagi ngapain?" balas Gista.

Cowok itu terkekeh kecil. Lalu, membuka kulkas mengambil minuman bersoda dan menenguknya kasar.

"Tumben masak," ucap cowok itu yang langsung diberi tatapan sinis Gista.

"Lo juga tumben inget pulang," sindir Gista pada Wira.

Pasalnya, kakaknya itu sering sekali tidak pulang ke rumah. Menginap di apartemen milik temannya atau di markas Balapati.

Iya, Wira sering sekali menginap di markas yang dibuat oleh ayahnya sendiri itu. Markas yang sudah seperti hotel berbintang.

Bagaimana tidak? Markas itu bukanlah sebuah gedung tua tak terawat, gudang, atau tempat sepi lainnya. Melainkan sebuah rumah mewah berlantai dua yang terdapat berbagai macam alat olahraga, kolam renang, lapangan dan taman di di belakang rumah. Awalnya, rumah itu milik mendiang ayah Erlan yang pada akhirnya dijadikan markas yang setiap harinya dijaga secara bergantian. Akan ada jadwal menginap di sana layaknya ronda malam.

Tidak merespon pertanyaan Gista. Wira justru menanyakan hal lain.

"Buat siapa?" tanyanya melirik bubur ayam yang berada di tangan cewek itu.

"Mama," lirih Gista.

Wira mengangguk. Lalu, berlalu begitu saja meninggalkan Gista menuju kamarnya.

Gista menatap punggung Wira yang mulai menjauh. Entah, kenapa ia merasa ada tembok yang membatasi dirinya dengan Wira. Mereka saudara sepupu. Tetapi, semenjak ia tinggal di rumah ini Wira sepertinya selalu menghindarinya. Setiap kumpul makan bersama Revan dan Wina. Laki-laki itu juga tak banyak bicara.

Memang. Wira itu tidak se-humble dan sereceh Ganes. Namun, Gista bisa merasakan jika sepupunya itu membangun tembok padanya. Ia jadi jarang ikut piknik kecil-kecilan yang Revan adakan saat weekend. Banyak sekali alasan yang laki-laki itu berikan ketika sang mama mengajaknya untuk berkumpul.

Terkadang Gista berpikir apakah Wira merasa terasingkan di rumah ini karena keberadaannya. Gista bukan hanya mengambil alih kamar yang semula milik Wira, tetapi juga kasih sayang Revan dan Wina. Semenjak kepergian kakak dan ayahnya. Juga Wening yang sakit seperti ini. Om dan tantenya memang tampak lebih memerhatikan dirinya ketimbang kedua anak kandungnya sendiri.

Apa itu yang membuat sikap Wira perlahan berubah padanya?

-----GISTARA-----
Batas antara halu dan nyata

GISTARA (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang