Bab 32

3.2K 249 15
                                    

Ig : @nis_liha
@wattapdnisliha

HAPPY READING GAISSS!

-----

"Orangnya memang sudah tiada, tapi  perasaannya masih ada."

Bugh

Satu pukulan telak mendarat sempurna di wajah Manggala hingga darah segar keluar dari hidung cowok itu.

"Nes!" tegur Kaivan sambil menahan tubuh Ganes yang hendak melayangkan pukulan lagi ke wajah Manggala.

Ganes mengusap wajahnya kasar. Mengumpulkan kesadarannya yang barusan hilang karena dikuasai oleh emosi saat melihat Gista menangis. Ganes tidak suka melihat sepupunya itu menangis. Selama ini ia berjuang untuk Gista kembali bahagia, tapi hari ini Manggala malah membuatnya  menangis. Ganes khawatir kebencian Gista pada cowok akan semakin menjadi-jadi.

"Sorry, Nes. Gue tadi udah kelewatan bilang kayak gitu sama Gista. Gue cuman nggak mau ada keributan di antara mereka. Gue juga nggak mau adek lo masuk BK lagi gara-gara masalah ini." Manggala mengusap darah segar yang keluar dari hidungnya menggunakan sapu tangan yang disodorkan oleh Magenta.

"Tapi lo itu harusnya nggak bilang kayak gitu, Gal! Itu sama aja lo seolah-olah belain Bianca," ujar Anara yang kelewat kesal pada Manggala.

Janu langsung menyerobot. "Lo juga jangan nyolot gitu dong, Ra. Manggala, kan, udah minta maaf."

"Udah-udah. Bentar lagi bel bunyi mendingan lo ke kelas aja, Ra. Kalau ada guru yang nanyain Gista di mana lo bilang aja dia di UKS lagi nggak enak badan," perintah cowok beralis tebal itu pada Anara.

"Tapi, Gista—"

"Biar gue aja yang nyari dia," potong Kaivan cepat.

Tanpa banyak bicara cowok bermata sipit itu langsung bergegas mencari Gista di rooftop. Meninggalkan mereka berlima begitu saja.

Feeling Kaivan mengatakan Gista pasti mencari tempat yang sepi untuk menenangkan diri.

Sesampainya di rooftop Kaivan bernapas lega melihat Gista berdiri di sana. Kaivan mendekat, tapi tidak berbicara apapun atau menanyakan apapun pada Gista. Membiarkan Gista melampiaskan semua yang dirasakannya saat ini.

"Kai," panggil Gista tanpa menoleh setelah sebelumnya hanya bergeming meski ia menyadari keberadaan Kaivan yang berdiri di belakangnya.

"Apa gue salah kalau gue ngebela orang tua gue yang dihina? Apa gue terlalu baperan cuman gara-gara mama gue dihina gue sampe mau main tangan? Apa gue terlihat kayak cewek yang nggak bermoral?" tanyanya beruntun.

Gista mendongak mencegah genangan air di pelupuk matanya itu kembali tumpah. "Nyokap gue dibilang gila, Kai. Dan gue nggak mungkin diem aja."

"Gue yakin kalo lo ada di posisi gue lo juga nggak bakalan terima kalau orang tua lo dihina."

"Enggak ada yang salah dari pembelaan seorang anak buat orangtuanya yang dihina. Yang salah itu jika pembelaan itu pake kekerasan." Cowok bermata sipit itu ikut berdiri di sebelah Gista yang menatap kosong ke depan.

"Lo nggak salah, tapi cara lo yang salah. Lo boleh maki-maki Bianca sepuas lo. Tapi, lo salah kalo sampe nampar dia."

"Gue cuman kebawa emosi. Gue paling sensitif sama setiap hal yang menyangkut sama keluarga apalagi nyokap gue."

Kaivan menatap lekat Gista dari arah samping. "Gue paham sama apa yang lo rasain."

Sempat terjadi keheningan selama beberapa saat. Sebelum akhirnya Kaivan kembali berbicara.

GISTARA (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang