Bab 83

3.4K 217 46
                                    

JANGAN LUPA FOLLOW DULU YA GAISSS!

FOLLOW JUGA MY IG @nis_liha DAN TIKTOK @nisliha2

HAPPY READING!

-----

"Bahagia itu diciptakan bukan dicari."

~Manggala Alasaki Kavindra

Sedari pagi susana rumah Revan tampak ramai. Banyak anak Balapati dan para tetangga yang sibuk mempersiapkan acara tahlilan tujuh hari meninggalnya Wening dan juga untuk mendoakan Wira.

Meja dan sofa di ruang tamu sudah dipindahkan dan digelar karpet hijau. Beberapa hidangan juga sudah disediakan di piring. Tinggal menunggu tetangga lain dan pak ustaz saja untuk memimpin tahlil.

Di sebuah kamar seorang gadis berambut sebahu tengah berdiri di balkon. Gista menumpukan kedua tangannya di pembatas balkon dengan tatapan kosong ke depan. Semilir angin yang berembus menerbangkan rambut gadis itu yang tergerai.

"Aku janji bakalan bahagia," ucap gadis itu mendongakkan kepalanya menatap langit malam yang sepi, tanpa bulan dan bintang.

"Aku janji bakalan buka lembaran baru dan hilangain semua dendam aku, Kak," ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Kak Naya, Papa, Mama, dan Bang Wira. Gista janji... Gista bukan hanya bahagia, tapi juga jadi Gista yang dulu lagi."

Senyumnya mengembang tipis bersamaan dengan tetesan liquid yang turun membasahi pipinya.

"Gista sayang kalian," ungkapnya mulai merasakan kelegaan di dalam hatinya. Sesak yang ia rasakan sudah tidak separah dulu lagi. Gista. Dia sudah mulai menerima takdir yang harus ia jalani.

"Gis, acara tahlilannya bentar lagi mau dimulai," seru seorang gadis bermata belok yang sudah berdiri di belakangnya.

"Iya, lo duluan aja, Ra. Gue mau di sini sebentar. Nanti gue nyusul." Gista menjawab tanpa membalikkan badan. Masih setia mengamati gelapnya langit yang tanpa penghias di atas sana dengan air mata yang terus merembes membasahi pipi.

Tidak mau membantah Anara pun meninggalkan Gista sendirian di balkon. Mungkin Gista masih mau menenangkan dirinya.

Menghela napas mata elang Gista menyipit kala menangkap sesosok laki-laki berkemeja hitam, mengenakan sarung hitam bergambar wayang lengkap dengan kopiah di kepalanya engah berdiri di bawah sana dengan pandangan yang mengarah padanya.

Laki-laki itu tersenyum padanya dan mengangkat jari kelingking tangan kanannya ke udara. Bibir ranumnya terbuka mengucapkan sesuatu tanpa suara.

"Janji harus bahagia." Kalimat itulah yang Gista tangkap dari gerakan bibir Manggala yang tanpa suara.

Gista menipiskan bibirnya, menyeka air matanya dengan punggung tangan sebelum akhirnya mengarahkan jari kelingkingnya ke bawah. Lalu, keduanya kompak membuat gerakan memutar seolah tengah mengaitkan jari kelingking mereka.

Keduanya kini saling bertatapan dengan senyum yang menghiasi bibir masing-masing. Gista tersenyum meski air matanya ingin kembali turun. Tidak mau kembali menangis dan malah merusak acara tahlilan nanti, Gista menarik tangannya dan memberi isyarat pada Manggala agar segera masuk untuk mengikuti tahlil.

Menutup kepalanya dengan selendang putih. Gadis itu meninggalkan balkon bersamaan dengan Manggala yang juga meninggalkan taman rumah Revan.

Acara tahlilan berjalan lancar sampai pukul sembilan malam. Meskipun sepanjang acara Gista harus mati-matian menahan tangisnya agar tidak merusak acara juga membuat Wina dan Revan khawatir.

GISTARA (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang