Ig : @nis_liha
@wattpadnislihaHAPPY READING!
-----
"Melawan seorang perempuan tak ada bedanya dengan pecundang."
~Manggala Alsaki Kavindra
"Hati-hati di rumah ya, Nak!" pesan Wina mengelus pelan puncak kepala Gista sebelum memasuki mobilnya untuk mengantar putra bungsunya ke rumah sakit bersama sang suami.
Ada perasaan tak tega ketika harus meninggalkan Gista sendirian saat melihat raut wajah lelah keponakannya itu. Akan tetapi, putranya di sini juga tengah membutuhkan dirinya. Jadi, mau tak mau Wina harus kembali meninggalkan Gista dan berharap keponakan serta kakak iparnya itu baik-baik saja.
"Jangan lupa kunci pintu rumah. Kalau ada apa-apa panggil Bang Wira," imbuh Revan dari balik kaca mobil sebelum akhirnya menginjak pedal gas dan mobilnya menghilang dari pengelihatan Gista.
Oh iya, Gista hampir lupa kalau masih ada Wira di rumah ini. Laki-laki itu sore tadi baru pulang dari kampus lalu langsung masuk kamar dan belum keluar hingga detik ini. Entah sedang apa laki-laki itu saat ini, Gista tidak tahu.
Akhir-akhir ini Wira memang terlihat jarang pulang ke rumah. Bermalam di rumah temannya atau di markas Balapati. Pulang-pulang mata kakak sepupunya itu pasti memerah seperti menahan kantuk. Terkadang jalannya saja sudah seperti zombie. Kata Ganes itu akibat tugas kuliah Wira yang menumpuk sehingga membuat laki-laki itu sering begadang untuk mengerjakannya.
Membuang napas kasar, tangan gadis itu naik memijat pangkal hidungnya. Kepalanya terasa pening memikirkan segala hal yang menimpanya. Ia merasa menjadi beban di rumah ini. Semenjak ia tinggal bersama Revan. Wira seakan menjauh darinya.
Laki-laki itu sesekali masih menanyakan keadaannya, tetapi Gista merasa sikap Wira padanya sangatlah berbeda dengan Wira yang dulu. Apalagi ketika ia diberi perlakuan khusus oleh Revan dan Wina. Gista bisa melihat mata Wira yang seakan sirat akan ketidaksukaan.
Gista jadi berasumsi jika Wira menaruh kecemburuan akan kasih sayang kedua orang tuanya yang beralih padanya. Jika memang hal itu yang membuat Wira menjauh darinya. Solusinya hanyalah Gista harus berbicara pada laki-laki itu jika ia tidak pernah berniat merebut kasih sayang kedua orangtuanya. Dan ia juga harus mengatakan pada Revan dan Wina agar tidak terlalu berlebihan kepadanya.
Mendongak menatap langit malam. Gadis dengan rambut yang dicepolnya asal itu menggerakkan kursi roda mamanya menuju air mancur depan rumah Revan. Gadis iru duduk selonjoran di atas batu kolam ikan sambil tangannya menggenggam erat tangan sang mama yang berada di depannya, duduk di atas kursi roda dengan pandangan kosong ke depan.
"Mama kapan sembuh? Gista kangen pelukan Mama," lirihnya sendu.
Tangan gadis itu naik merapikan rambut hitam panjang mamanya yang tergerai dan acak-acakan karena tertiup angin. Pandangannya lalu turun pada kalung dengan bandul berlian yang terpasang di leher mamanya.
Bibir gadis itu tertarik membentuk seulas senyuman. Ia ingat kalung itu adalah kalung pemberiannya dan juga Kanaya di hari ulang tahun sang mama, satu tahun silam sebelum prahara itu muncul di keluarga kecilnnya yang harmonis.
Ia dan Kanaya memang memiliki kebiasaan unik setiap kali merayakan ulang tahun papa dan mamanya. Keduanya selalu berpatungan untuk membelikan hadiah. Alasannya simple, karena tidak ingin ada rasa iri satu sama lain jika sang mama atau papanya lebih menyukai hadiah dari salah satunya. Maka dari itu Gista dan Kanaya memilih menggabung uang mereka untuk membelikan hadiah.
KAMU SEDANG MEMBACA
GISTARA (END)
Teen FictionKejadian yang menimpa kakaknya membuat Gistara Arabhita membenci cowok. Dia menganggap semua cowok itu sama, yakni tiga B yang berarti belang, bejat, dan berbahaya. Akan tetapi, Gista yang membenci cowok terpaksa harus terus berurusan dengan Mangga...