1 • Kepingan keberuntungan

650 81 5
                                    

🌾🌾🌾🌾

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌾🌾🌾🌾

Terkadang, aku ingin tertawa mendengar bualan anak tk yang sedang bermain ayunan sambil tertawa. Katanya, mereka ingin cepat menjadi dewasa. Sepertinya menyenangkan, bisa pergi bermain tanpa dimarahi orang tua, bisa mendapatkan uang dengan bekerja, bisa meraih cita-cita dengan rajin berusaha.

Sekarang, mari kita lihat apa yang diinginkan orang dewasa. Sederhana, mereka hanya ingin kembali ke masa kecil. Ke masa paling membahagiakan, ke masa di mana hal yang kita inginkan sangat sederhana. Tanpa harus repot-repot memikirkan besok makan apa, tugas kuliah bagaimana, uang sewa rumah bagaimana, dan banyak hal lainnya. Memenuhi keinginan, tanpa campur tangan dari orang tua lagi.

Lalu aku menertawakan diriku sendiri, sebab aku pun pernah membayangkan semudah apa saat aku sudah dewasa. Namun, dewasa tidak pernah semudah apa yang aku bayangkan, tidak pernah semudah apa yang orang lain katakan. Aku hanya pintar, tapi aku tidak beruntung. Aku sudah berusaha, tapi lagi-lagi aku tidak beruntung.

Semudah itu kenyataan, dan keberuntungan mematahkan usahaku.

Sebuah ketakutan, kekecewaan, kekhawatiran yang selalu aku bungkus rapi dalam kata baik-baik saja, suatu saat bisa saja hancur berkeping-keping tak tersisa. Meninggalkan ketakutan yang semakin nyata terasa, meninggalkan kekhawatiran yang enggan pergi dari tempatnya.

Menjadi dewasa? Aku harus melangkah dengan percaya diri ke mana? Aku harus menjadi diri sendiri, atau menjadi standarisasi diri yang diharapkan orang lain? Aku harus bagaimana? Aku harus menjadi apa dan siapa?

Ketakutanku, tepat berada di sini. Sejujurnya, aku sudah kelelahan menjalani peran sebagai orang dewasa.

Menyudahi lamunanku yang selalu terdengar seperti orang tidak bersyukur, aku lekas membenahi berkas-berkas yang tersampir di mejaku. Berkas-berkas lamaran yang tidak kunjung menemukan tuannya. Terus-terusan ditolak perusahaan, mentang-mentang hanya punya sertifikat pelatihan, bukan ijazah S1 atau gelar dibelakang namaku. Bagaimana mungkin aku tidak bersyukur, hidup saja selalu mempersulitku.

Meringis kesakitan, aku menghela napas pelan, ini sudah lewat dari jam makan siang, sarapan pun tidak, aku hanya mencuri sepotong apel, dan satu suap mie rebus yang dibuat adikku untuk sarapan paginya sebelum berangkat sekolah. Sangat tidak tau diri, untuk seseorang yang punya riwayat penyakit maag akut.

"Bagaimana hasilnya?" tanya wanita paruh baya yang sering aku sebut ibu, yang selalu mengutukku kalau aku malah meleos pergi saat dia menceramahiku.

Aku tau tidak sopan, tapi tidak mendengarkan perkataan ibu lebih baik daripada aku harus melawannya dengan kata-kata yang lebih menyakitkan.

Terakhir kali, aku dengar dia mengataiku tidak berguna. Melepas earphone yang terpasang di telingaku, aku menghela napas panjang. Earphone lebih penting daripada uang, setidaknya bagiku. Mungkin uang bisa menutup mulut berbisa manusia, berhubung aku miskin, jadi aku belikan saja earphone untuk memblokir pendengaranku dari perkataan mereka.

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang