............
Aku baru menyadari satu hal ini. Ada yang sedihnya lebih parah daripada aku, ada yang kehilangannya lebih parah daripada aku. Ibu, wanita yang sudah kehilangan kekasihnya ini, mempunyai luka yang teramat besar atas kehilangan.
Dia mungkin menangis sepertiku, namun dia sembunyikan dibalik wajah tegarnya. Seperti tanpa memikul beban, kini dia sadar, tugas membesarkan anak-anaknya harus dia emban sendirian.
"Ibu kenapa?"
Ibu tidak menjawab, dia malah menutupi dirinya dengan selimut yang selalu bapak kenakan setiap malam. Rindu mungkin pada kekasihnya.
"Ibu belum makan, ya? Ibu sakit? Makan dulu, Bu. Nanti minum obat."
Ada isak tangis tersembunyi saat bapak pergi, tiap malam mungkin ibu menangis, dan aku tidak peduli. Aku egois, tidak jauh berbeda dengan kata-kata kejam yang sempat aku katakan pada ibu.
"Bu," aku menyentuh bahu ibu yang ternyata bergetar. "Jangan nangis, Ibu baik-baik aja, kan?"
Namun, aku tidak mendengar ibu menyahut apa pun.
"Bu, makan dulu, Yuk. Biar Alice masakin—"
"Pergi," ucap Kiran terdengar sangat parau, lengannya mencuat dibalik selimut kemudian menutupi matanya.
Ibu sudah menangis.
"Ibu, jangan sedih, dong. Jangan kayak gini, Alice nggak sanggup lihatnya." Aku mencoba merangkul ibu, dan sampailah aku di titik pelukan seorang ibu.
Detak jantungnya menenangkan, napasnya yang teratur membuat dadaku bergemuruh hebat.
"Alice nggak akan pergi, Alice bakal jagain Ibu. Jadi, ibu jangan nyiksa diri kayak gini, Alice kesiksa lihat Ibu kayak gini."
Iya, dadaku sakit bukan main. Meski sepanjang hidup beberapa luka hatiku disebabkan oleh ibu, melihat dia sedih begini, aku menjadi tidak tega. Aku ikut sakit hati melihatnya.
"Tante Kiran, mau Anna masakin nggak?"
Hening kembali, aku bangun dari pelukan ibu. Menggenggam lengannya yang terasa sangat panas. Ibu demam parah, entah sejak kapan. Ya Tuhan, aku terlalu acuh untuk ukuran seorang anak. Mungkin, aku kehilangan sosok cinta pertamaku, tapi ibu kehilangan cinta sejatinya. Cinta yang ia harapkan akan terus bersama sampai anak-anaknya menggendong cucu mereka. Cinta yang ia harapkan akan terus menemaninya sampai maut memisahkan mereka. Namun, takdir memutus kebersamaan mereka dengan cara yang sangat kejam. Kematian adalah putus cinta paling menyakitkan, rindu tidak bisa bertemu, mengaudu siapa yang lebih cinta? Sejatinya kita kalah dengan sang pencipta yang maha pengasih.
"Alice juga kangen Bapak, kok, tapi di sana pasti Bapak ikut sedih kalau kita juga sedih. Ibu sendiri bilang waktu itu, do'a lebih penting daripada menangisi kepergian bapak. Karena tangisan nggak akan bikin bapak balik lagi, do'a adalah penawar terbaik untuk rindu-rindu kita, Bu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...