Aku juga kembali pada tempat peraduanku, senyum mengembang manis di wajahku. Aruni, dan Bunda menyambutku, lalu aku berlari untuk memeluk Bunda.
"Bunda apa kabar?" tanyaku meluruhkan lelah yang selama ini memberati pundakku.
Bunda menepuk punggungku pelan.
"Baik, kenapa? Kamu terlihat lelah sepertinya. Alice bagaimana?"
Lalu, tanpa Alice tahu aku juga sama lemahnya seperti dia. Sudah berhari-hari sejak Alice hampir mati di depan mataku, aku terjebak rasa takutku sendiri. Tidak mudah, tapi aku mencoba untuk menenangkan gadis itu sebisaku. Aku juga berpura-pura kuat di hadapannya.
"Ibu dengar dia kabur, ya? Bagaimana bisa?"
Lalu, aku mulai menangis, rasa takutku kembali muncul ke permukaan. Ini bukan rasa trauma, kalau boleh dijelaskan ini hanya bagian dari rasa takutku sebagai manusia.
"Kak Malik," bisik Aruni meremat lengan kemejaku yang terlihat kusut.
Ini wajah asliku, wujud dari rasa takut yang selama ini menghantuiku. Di depan Alice, aku tidak boleh memunculkan wajah ini, sebab ini hanya akan memberatinya. Biar aku menunjukkannya sekarang, dan menguburnya dalam-dalam setelah menumpah ruahkan segalanya pada bunda. Aku selalu seperti ini, tiap kali apa yang aku mau tidak sesuai dengan yang aku harapkan. Atau, aku selalu begini setiap kali aku ketakutan. Ibu tidak tahu, Alice hampir mati di depan mataku, aku juga tidak mau menceritakannya.
Tapi sekarang, aku rasa aku tidak bisa mengatasinya sendirian. Rasa takutku, dan berapa putus Asanya Alice hari lalu. Ada alasan kenapa aku terus mengatakan ingin hidup bersama dengan gadis itu, karena aku tidak mau dia menghilang. Belum waktunya dia berada dalam dekapan bumi seperti Kusuma.
"Malik ketemu Alice di jembatan, sepertinya dia lelah dan berpikir untuk beristirahat selamanya. Malik sempat menjauhi Alice, tapi jauh dari kata sebenarnya, Malik terus mengikuti ke mana pun bayangan Alice pergi. Hati Malik hancur melihat Alice menangis dan hampir mati, jadi Malik membawa Alice ke Villa hadiah ulang tahun dari Papah."
Kemudian, bunda melepas pelukanku, dia membawaku duduk dan menyuruh Runi membawa segelas teh hangat.
"Malik memberikan waktu untuk Alice. Dia bilang, ingin Malik temani sampai dia sembuh, Malik bodoh ya, Bunda? Malik malah pergi karena merasa Alice tidak membutuhkan siapa pun, tapi Malik salah selama ini. Alice tidak ingin benar-benar sendiri. Dia mengusir semua orang pergi, hanya karena dia tidak mau kesedihannya dilihat orang lain."
Benar, aku telat menyadarinya selama ini.
"Ternyata, aku salah menilai. Aku pikir, wajah bahagia milik Alice selama ini adalah wujud dari kebahagiaannya. Namun, siapa sangka? Tawanya, cerianya, hanyalah topeng yang Alice kenakan untuk menutupi segala kecemasannya, lukanya, dan rasa takutnya."
Aruna menatapku, dia usapi perlahan keringat yang membasahi dahinya.
Menilai kehidupan orang lain ternyata tidak cukup hanya dengan melihat raut wajahnya, bisa saja sedang tertawa, namun hatinya? Bisa saja sedang patah dan tidak pernah bahagia? Bahunya terlihat selalu tegap, namun siapa yang tahu? Bisa saja dia membutuhkan bahu untuk beristirahat. Mereda lelah yang selama ini membuatnya babak belur dan hancur berantakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...