🌾🌾🌾🌾Suasana sesaat menjadi hening, aku melihat bagaimana tatapan Malik jatuh sepenuhnya padaku. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, apa yang harus aku katakan. Akan aneh kalau aku bilang aku juga menyukainya.
Bagaimana pun dikatakan, Malik hanya menyukai aku di masa lalu secara diam-diam. Dia tidak sampai melukai di masa lalu. Dia tidak sampai mengusik hubunganku dengan Mahes. Bahkan, Malik saja tidak tahu kalau Mahes sudah mati.
Apa sekarang aku harus merasa lega, karena rupanya aku tidak jatuh sendirian, atau aku harus—apa? Aku harus apa dan bagaiman?
"Kamu takut, ya?" Ingin aku jawab iya, tapi lagi-lagi yang aku pertanyakan masihlah sama.
"Bagaimana bisa? Jatuh cinta, apa benar begitu? Alice kira nggak akan semudah itu menyimpulkannya."
Malik lagi-lagi tersenyum membalas ucapanku.
"Sudah saya katakan, waktu saya masuk perusahaan Ayah saya, sekitar enam atau tujuh tahun yang lalu, saya pergi ke Kafe Pandora. Di sana, saya pernah melihat seorang gadis dengan cheese roll cake, dan espresso dingin di atas mejanya. Ini kisah lain, saat dia pergi sendiri tanpa teman laki-lakinya. Kamu tahu? Gadis itu cukup ajaib, sampai saya tidak sadar, sudah tersenyum begitu melihat dia mengeluarkan ekspresi kekanakan saat memakan kue kejunya. Dia terlihat senang, bahkan dia tidak menyadari, kalau krim kejunya belepotan di sisian bibirnya."
Wah, aku malu kalau itu betulan aku. Sebab, aku memang selalu berperilaku kekanakan tiap kali aku menemui hal-hal yang aku sukai.
"Lucunya lagi, dia sampai menghentak-hentakkan kakinya di atas lantai kafe."
Aku terdiam cukup lama. Enam tahun yang lalu, bukankah saat itu aku masih mengenakan seragam sekolah, ya? Sepertinya itu aku, gadis yang dia lihat beberapa tahun silam itu aku.
"Hal lain yang bisa membuat saya tersenyum adalah, saya akan mewajari kalau dia mengenakan seragam sekolah dasar. Tapi yang dia pakai saat itu adalah seragam putih abu," ucap Malik menyambung lagi ceritanya.
"Sejak saat itu, saya sering datang ke kafe setiap pukul tiga sore. Sengaja, memesan pesanan yang sama sekalian pergi melihatnya. Namun, pilihan kopinya salah. Espresso terlalu pahit untuk menemani kudapan manis, lalu kemudian beberapa tahun terakhir ini, aku melihatnya mengganti kopinya. Kadang dengan Latte, atau coklat."
Iya, itu benar aku.
"Jadi, saya katakan sekali lagi, kalau gadis itu kamu, Alice Keinnara. Saya sudah menyukai kamu sejak lama."
Jantungku resmi copot dari tempatnya.
"Sa--ya, aku, maksudku? Eh, maksud Kak Mal?" Lihat, aku sampai belepotan untuk mengutarakan apa yang ingin aku katakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...