42 • Kamar Nomor 12

81 39 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.................................

Ruangan bernuansa putih ini menjadi tempat aku beristirahat.

Aku melihat bapak yang tertidur lelap, tangannya yang diinfus masih berada ditanganku. Aku mengelap peluh yang mengucur dari dahinya. Suhu tubuhnya tinggi sekali.

"Jangan sakit terus, Pak, Alice sakit hati lihatnya," ucapku memandangi bagaimana tidur dalam gelisahnya.

Kemarin, sepulang membeli bahan pie keinginan bapak, aku menemukan bapak tidak sadarkan diri di atas kursi rodanya. Untungnya, aku hanya kehilangan mentega, kewarasanku masihlah tersisa ada. Menelpon Ibu yang masih berada di toko kainnya, aku langsung membawa bapak setelah ibu meminjam mobil milik keluarga Anna.

Mataku masih sembab, mungkin ibu mengira aku menangisi bapak. Well, apa pun itu sakit hatiku bertambah dua kali lipat hari kemarin.

Aku melihatnya, bagaimana Anna masuk ke dalam mobil milik Malik. Entahlah, tidak jelas sama sekali. Aku melupakan kacamataku, ingat aku itu rabun. Hujan membuat semuanya bertambah buruk.

Ah sudahlah, baik Malik maupun Anna, mereka tidak ada yang menghubungiku hari ini, kecuali Aruni. Dia menanyakan kabarku.

Aku kira, dia disuruh Malik, tapi katanya tidak. Dia memang sudah menghubungiku sebelum hujan turun siang kemarin.

"Kenapa, Pak?" tanyaku berhenti memikirkan Malik, saat Bapak meremat tanganku pelan.

"Kamu kenapa? Dari kemarin cemberut terus, padahal senyumnya anak Bapak ini manis banget loh." Aku tersenyum mendengar ucapan Bapak.

"Malik jahatin kamu, ya?" Aku menggeleng sebagai jawaban.

"Nggak, Malik tetap baik sama Alice." Akunya saja yang mengambil sikap berlebihan.

"Nggak bohong?" tanya bapak membuatku diam.

"Bohong, ya?"

"Nggak, Malik nggak pernah jahatin Alice. Kemarin, Alice ada masalah dan kebetulan akarnya dari Malik. Mau tidak mau Alice harus mundur, karena Alice tahu apa yang baik buat Alice."

Bapak tersenyum, tangannya kini berpindah mencekal lenganku.

"Alice tahu nggak, kenapa manusia itu butuh yang namanya tempat untuk bercerita?" Aku menggeleng sebagai jawaban.

Sebab, mempunyai teman cerita bukannya sama dengan membagi beban pada orang lain? Pikirku tidak baik, jadi selama ini aku hanya menampilkan sisi bahagiaku saja. Sisi di mana orang tahu, kalau aku lebih hebat dan kuat daripada mereka.

Wah, aku baru sadar. Kalau kalimat tadi terdengar sangat angkuh.

"Karena kamu butuh orang ketiga, untuk mendiskusikan hal-hal yang kamu ambil untuk kebaikan di masa depan. Contohnya seperti saat ini, mengatakan demi kebaikan diri sendiri itu terdengar sangat egois. Kenapa bapak bilang begitu? Karena kamu terlihat tersakiti dengan keputusan yang kamu ambil."

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang