59 • Topeng

60 25 0
                                    

Kembali dalam tangis yang tak berkesudahan, aku menatapi diri di dalam cermin pagi ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kembali dalam tangis yang tak berkesudahan, aku menatapi diri di dalam cermin pagi ini. Selesai menunaikan dua rakaatku, dan mengirimkan surat cinta untuk bapak yang sudah lebih dulu meninggalkanku.

Yang benar saja, semalaman aku sulit tertidur, terbayangi ucapan Mala.

Yang lebih mengerikannya adalah,  jalan cerita hidupku resmi berubah menjadi sangat menyedihkan setelah aku kehilangan Bapak. Rasanya, aku kehilangan hampir semua kepercaya dirianku.

Aku mengusir Malik hari itu, dan dia pergi. Tidak dia tidak benar-benar pergi dari sini, aku tahu dia ada di sini mengawasiku. Tapi, aku tidak peduli. Aku hanya ingin mendapatkan tenang yang selama ini tidak betul-betul aku dapatkan.

Napasku memburu, seolah sesorang sudah merenggut hakku untuk bernapas. Menepuk dadaku sampai berbunyi, aku tahu sudah Semerah apa di sana. Bagaimana lagi? Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk aku meredakan sesak yang tidak kunjung membaik ini.

"Step one, gue harus pergi dari lingkaran yang sudah Malik buat."

Ini rencana pertamaku. Saldo di m-banking ku pasti sudah bertambah. Dan yang aku pikirkan selanjutnya adalah, aku akan pergi dengan uang yang tidak seberapa itu. Aku berniat melarikan diri. Ke ladang bunga kakek, mungkin?

"Bapak nggak akan senang lihat diri aku yang kembali ke masa lalu, dia pasti sedih." Makanya, aku berniat meninggalkan Malik, dan tidak akan memberikan kesempatan apa pun, untuk aku, apalagi untuk Malik.

Resign. Ini adalah langkah awal yang aku pikirkan, sebelum masa kontrakku habis dengan Xian Techno. Well, aku bisa membantu ibu, atau menulis daily seperti biasanya.

Namun, aku sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja untuk memulai apa pun. Aku pikir, memulihkan luka setelah kehilangan adalah menarik diri dari apa pun. Sebab, aku tidak mau bersinggungan dengan hal yang akan mengingatkanku, pada orang-orang di masa lalu yang sudah pergi lebih dulu.

Maghku memang bertambah parah, namun aku meninggalkan sarapan pagi yang sudah ibu persiapkan. Aku tidak mencuri sarapan kedua adikku lagi.

Aku pergi, tanpa mengucap salam. Bibirku kering, karena aku tidak banyak bicara akhir-akhir ini. Lebih tepatnya, tidak ada yang aku gubris saat mereka bicara denganku. Kecuali, saat kedatangan Mala, dua hari yang lalu.

Aku menatap bangunan tinggi yang menjadi tempatku bekerja, tempat di mana romansa antara aku dan Malik tercipta. Aku harus meninggalkannya, sebelum mereka meninggalkanku lebih dulu. Aku tidak mau hal-hal baik terenggut, saat aku menjadi lebih bahagia daripada hari sebelumnya.

"Alice!" seruan lelaki di belakang sana membuat aku menoleh.

Septian selalu datang dengan wajah gembiranya.

"Kenapa kamu nggak bisa dihubungi lewat mana pun? Telepon, chatting, sosmed apalagi, semuanya centang abu. Saya khawatir Alice Keinnara."

Langkah kedua adalah, bersikap seperti Alice yang dulu. Alice yang tidak peduli apa pun, kaku, dingin, dan tidak berperasaan.

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang