Aku kembali setelah menyelesaikan urusanku di kantor. Well, si Septian ini tidak ada habisnya bertanya soal kebenaran aku yang menempuh jalan sama dengan Alice. Aku sudah memikirkannya matang-matang, dari banyaknya belajar aku meyakininya. Ini bukan semata-mata aku ingin bersama dengan Alice, hanya saja secercah cahaya akhirnya menerangi jalanku.Dalam perjalanan pulang, aku ragu menyampaikan kabar Alice pada orang tuanya. Iya, Anna sempat menghubungiku, ibunya juga menghubungiku lewat ponsel Bapak. Tapi, aku tidak berani memberitahu mereka. Aku sudah berjanji pada Alice.
Namun, aku pikir, mereka berhak tahu. Setidaknya mungkin hati mereka akan merasa lebih lega, saat tahu Alice ada di sini bersamaku. Aku juga harus mampu mengajak Alice untuk pulang ke rumah sebenarnya. Kabur bukan pilihan yang tepat. Tapi, aku masih belum tahu bagaimana cara meyakininya.
Meski aku pulang dari kantor sore hari, aku sampai di rumah pukul delapan malam. Jalanan macet, dan jarak tempuh dari kantor menuju tempat di mana Alice berada itu sangat jauh.
Tiga puluh menit sebelum aku sampai, aku melihat ada pasar malam yang terlihat ramai dari sini. Ingin hati aku mengajak Alice. Menaiki biang lala, atau kora-kora agar dia bisa menjerit sepuasnya.
Tapi, aku yakin kalau Alice belum mau bicara lagi dengan aku. Sampai akhirnya, mobilku tiba dipekarangan rumah. Dadaku berdesir hebat, iris mata gelapku menangkap tubuh jangkung Alice yang sedang memotret langit malam kosong di taman kecil yang di urus Pak Aji.
Setelah lama memperhatikannya dari dalam sini, dan Alice masih belum menyadari kedatanganku, aku melihat senyumnya. Dia menatap layar ponselnya, lalu seulas senyum muncul di balik wajah pucatnya. Jantungku semakin berdebar gila karenanya.
Lalu aku turun, sepatu hitamku menapak di sepanjang kerikil kecil. Langkah yang sedikit demi sedikit membawaku untuk berada lebih dekat dengan kekasih yang sudah begitu lama aku rindukan.
Dalam langkah panjang yang aku ambil, gadis itu membalikkan tubuhnya dan senyum tipis terukir dari balik wajahnya.
"Sudah pulang?" Aku tidak menduga, kalau Alice akan menyapaku lebih dulu.
Demi Tuhan, ingin aku peluk gadis itu sekarang juga. Ingin aku tenangkan segala sesuatu yang mengganggunya selama ini, dan satu langkah yang aku bawa semakin dekat dengannya dia sambut dengan senyum yang bertambah lebar.
"Duduk, yuk, langitnya lagi bagus." Aku mengangguk tidak tahu harus berkata apa. Satu yang jelas, dadaku berdebar semakin gila dan kencang.
Kamu berdua sudah berada di kursi samping ayunan tua, aku terus menatap Alice yang terlihat begitu cantik dan tenang malam ini. Angin malam yang mempermainkan rambutnya membuat kecantikan gadis ini bertambah beribu-ribu kali lipat daripada biasanya.
Sampai akhirnya jantungku nyaris berhenti berdetak. Wajah Alice yang terlihat sangat pucat tidak terpoles sedikit pun make up, tampak sangat anggun dan menawan. Kedua iris mata yang sama-sama legam akhirnya tenggelam dalam dalam kebisuan.
Sunyi sekali, mungkin Alice bisa mendnegar detak jantungku yang hampir meledak.
"Cantik," gumamku membuat pipi Alice bersemu kemerahan dan aku dibuat semakin terperangah oleh wajah cantiknya.
Membatin dalam hati, bagaimana bisa sekelas Septian tidak menyukainya?
"Alice mau bicara," ucap gadis itu kembali mengantesikan pandangannya pada langit malam.
"Terima kasih, sudah menjaga Alice. Sudah memberitahu tahu Alice, tentang segala sesuatu yang Alice anggap paling nggak mungkin terjadi di hidup Alice. Sepertinya, Alice kurang bersyukur atas nikmat yang sudah Tuhan beri buat Alice, maaf, ya, Alice sempat—"
"Nggak apa-apa, saya mengerti maksud kamu. Kalau terlalu sulit untuk di utarakan, kata maaf saja sudah cukup." Alice tersenyum mendengar kalimatku.
Kemudian, dia bersandar di pundakku. Aku lihat matanya terpejam, kami tenggelam dalam buaian rindu yang bisu. Sepi, kami tidak bicara lagi. Hanya diam, menyalurkan rindu-rindu yang akhirnya menemukan tuannya.
Awalnya aku ragu, tapi kini aku sudah mengisi celah kosong dalam jari-jari kecil gadis ini. Dingin, dan tampak lebih kecil daripada biasanya.
"Kak Malik, Bapak pasti nggak akan senang lihat Alice yang sekarang, kan?"
Aku tidak mampu menjawab, hanya diam dan mencekal lengan Alice lebih erat.
"Alice pikir semuanya sudah membaik, iya memang sedari awal sudah baik-baik. Salsa bahkan tidak lagi menganggu Alice, tapi semenjak Bapak pergi dunia Alice rasanya hancur. Di sini, seperti tidak ada kehidupan. Jadi, hari kemarin Alice berpikiran untuk mati saja."
Gadis ini masih memejamkan mata sambil bercerita tentang betapa menderitanya dia, setelah kehilangan Kusuma. Iya, cinta sejati, cinta pertama itu abadi, sosok ayah mempunyai peranan besar dalam kehidupan anak perempuannya.
"Bapak pernah bilang, kalau Kak Malik adalah hadiah kecil dari Tuhan untuk Alice. Bapak bilang, Kak Malik bisa menjaga Alice setelah Bapak tiada, dan aku tidak percaya kalau Bapak menepati janjinya untuk pergi selama-lamanya. Tapi, Alice belum bisa terima, tempat di hati Alice untuk Bapak, tidak akan pernah terganti untuk siapa pun. Jadi, maaf kalau Alice melupakan kebaikan Kak Malik hari lalu."
"Sudah, jangan berkata maaf terus. Tidak ada yang salah, karena rasa terima kasih, dan rasa kasih saya untuk kamu lebih besar Alice. Saya belum mengucapkan terima kasih, karena kamu sudah mau bertahan walau mungkin kamu sudah jatuh tersandung, dan terluka berkali-kali. Kamu hebat, sangat-sangat hebat. Kamu juga berharga, sangat-sangat berharga."
Aku hanya ingin Alice merasakannya, merasakan betapa dia berharga bukan hanya bagiku, tapi bagi dirinya sendiri juga. Aku hanya ingin menyampaikan, betapa hebatnya Alice yang kesusahan bertahan meski mungkin dia menyerah di ujung jalan. Aku hanya ingin memberitahu, kalau Alice sangat pantas dicintai dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dia miliki. Karena aku dan dia sama, manusia.
"Terima kasih Alice, sudah bersandar pada saya dan menceritakan segala ceritamu pada saya. Saya akan menjaganya, menjaga kamu, perasaanmu, dan segalanya sebagai bentuk daripada rasa saya terhadap kamu. Dan, cukup hari kemarin kamu meninggalkan saya, dan saya meninggalkan kamu. Di mulai hari ini sampai seterusnya, izinkan saya menemani kamu, ya?"
Pundakku terasa ringan, Alice mengangkat naik kepalanya, kemudian iris mata kami bertemu lagi dalam satu garis rindu yang sama. Alice mengangguk, senyum yang aku rindu kembali hadir. Matanya nyaris hilang, enta karena dia terlalu bahagia, atau mungkin kehilangan hampir sebagian rasa sedihnya.
"Sure, but don't leave me alone."
Mana mungkin aku berani meninggalkan Alice sendirian, karena kehilangannya adalah ketakutan terbesarku. Rumah yang aku minta pada Tuhan, sebagai bentuk daripada cintaku pada manusia, mana mungkin aku mampu meninggalkannya lagi?"
..............
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...