28 • Dewasa dan Resikonya

129 42 0
                                    

🥀🥀🥀🥀

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🥀🥀🥀🥀

Sudah pukul dua malam, aku masih berkutat dengan pikiran dan tulisanku. Terkadang, perasaanku bisa lebih jujur saat malam datang. Akan bahaya kalau ada orang yang menemani aku bergadang. Bahaya kalau mereka tau aku sebenarnya lebih lemah daripada kelihatannya.

Apalagi ucapan wanita yang mengaku sebagai pacarnya Malik, demi Tuhan itu sangat mengangguku sampai hari ini. Jam tidurku sedikit berantakan lagi, saat aku merasa cemas berlebihan. Tidak tenang saja rasanya.

Mungkin, ini dampak yang aku terima, setelah menjadi korban bullying. Sudah berlalu, semuanya. Ejekan, olokan, beberapa pasang mata yang menatapku tidak suka, semuanya sudah berlalu. Tapi, rasa takut itu masih berada di sini. Hidup bersamaku, dan terus berjalan beriringan denganku.

Well, manusia memang mengerikan, bukan?

Meski begitu, Malik sering menemaniku di ruang chat. Aku meresponnya, tapi aku menjaga jarak darinya. Aku tidak mau Aca menyakitiku dengan cara apa pun. Lebih tepatnya, aku tidak mau bertemu dengannya lagi. Tatapan matanya yang terlihat merendahkanku, membuat luka di masa laluku kembali basah.

Akhirnya, untuk menenangkan diri sendiri, aku menghela napas berkali-kali sebagai bentuk dari meditasi. Kepalaku yang rasanya semakin berisik, aku meredakannya seidikit dengan menuangkan beberapa pikiranku pada kertas kekuningan, yang sudah menemaniku beberapa tahun belakangan ini.

Setelahnya, aku pergi ke luar untuk mengambil secangkir air mineral.

Aku melihat pintu kamar Ibu yang terbuka, dengan senyum yang mengembang aku berjalan menghampirinya. Aku tersenyum kecil melihat wajah ibu yang sedang mengatur napasnya saat tertidur. Aku menghampirinya dengan hati-hati, tidak mau membuat Ibu yang terlihat kelelahan ini terjaga.

Mengulurkan tanganku untuk menyentuh dahi ibu, aku tersenyum kecil. Hangat, ibu masih di sini, hidup bersamaku.

"Ibu sehat-sehat ya," ucapku melihat betapa sudah tuanya ibu sekarang.

"Maafin Alice, karena sering banget bikin ibu sakit hati. Tapi Alice nggak ada niat begitu. Alice nggak akan minta pengertian dari ibu, karena Alice tahu, di sini memang Alice yang salah. Alice udah berumur, Bu. Tapi Alice juga tau, kalau Alice masih anak-anak. Jadi, maafin Alice, ya."

Setiap malam, saat aku melihat kedua orang tuaku tengah tertidur pulas, aku selalu melakukan hal ini. Memastikan mereka tetap bernapas, selama mereka beristirahat, dan berkelana dalam mimpi panjangnya. Satu kegiatan yang menjadi kebiasaan saat aku beranjak dewasa.

Tidak jarang, aku selalu memperhatikan Bapak. Mendengar rintihan kesakitannya, membuatku mampu menahan tangis. Aku tidak ingin terlihat lemah. Aku tidak ingin terlihat sedih. Karena aku punya satu keyakinan, bapak akan sembuh. Maka dari itu, setiap hari sebelum tidur, aku selalu menyematkan earphone, mendengar bapak kesakitan memang selalu membuatku menangis.

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang