Udara dingin pagi pukul 5 mulai mengusik tidur nyenyakku, sekolah. Ah, aku benci sekali mendengarnya. Masalahnya, aku malas bangun pagi. Meski Ibu sudah memasak air hangat untuk aku mandi.Aku lihat, di atas meja sudah ada bolu ketan yang bapak bawa untuk aku sarapan. Mereka semua sibuk, tapi aku selalu tersenyum melihat kue bolu yang menjadi makanan favoritku sejak aku masih kecil. Sekecil Sara yang hari ini sedang duduk menonton film kartun dunia kapur. Aku tidak sempat menonton, hanya mendengar suaranya saja, sembari bersiap-siap untuk sekolah.
Aku tersenyum manis, sebenarnya aku tidak benar-benar membenci yang namanya sekolah. Sebab, ada Janu Reksa namanya. Anak laki-laki di kelasku. Tinggi, putih, argh, dia terlalu sempurna untuk aku jelaskan. Intinya, aku menyukai anak lelaki itu.
Aku tahu, masih terlalu dini untuk anak kelas 1 SMP berkencan. Aku hanya--emm, hanya mengumpulkan keberanian untuk mengatakan kalau aku menyukainya.
Setelah memakai bedak pada wajahku, aku mengibaskan rambut yang kini aku urai. Wah, aku memang tidak secantik Sara, tapi senyumku cukup manis. Serius, aku tidak bohong.
"Alice berangkat," ucapku kemudian mencium kedua lengan orang tuaku.
Sebelum aku benar-benar pergi, bapak memanggilku. Dan senyum lebar menjadi salam perpisahan sebelum aku berangkat sekolah. Tentu saja aku tersenyum, bapak menambah uang sakuku.
Setelah menaiki angkot dua kali, akhirnya aku sampai di sekolah. Oh iya, salah satu temanku kemarin pindah setelah semester satu selesai. Aku tidak tahu, tapi ada yang bermasalah dengan gadis bernama Salsa. Dia merundung gadis yang hari lalu pindah, dan meski dia sudah pindah, Salsa seolah tidak puas dan terus mengejek kalau gadis itu hitam dan jelek.
Padahal, kalau aku beri kaca, Salsa hanya punya nama yang cantik, sedangkan sikapnya adalah cerminan daripada rupanya.
Aku memang tidak cantik, tapi kalau di bandingkan dengan Salsa, aku pemenangnya.
"Eh Alice," sapa Salsa membuat aku menoleh sinis ke arahnya.
"Temen searah kamu berhenti, ya? Nggak seru, dong, kalau nggak ada queen of class G."
Aku sedikit tidak terima kalau sasaran dia yang berikutnya adalah aku. Sebab, aku tidak pernah membuat masalah apa pun dengannya. Jangan bercanda, kenapa dia bicara denganku?
"Bukan urusan gue, kalau mau, lo bisa jadi the next queen atau apalah itu. Minggir, gue mau lewat."
Awalnya, aku melawan. Namun, sepertinya aku kalah karena sedari awal yang aku lawan bukan manusia, tapi setan berkedok manusia.
"If you want it, let's take it. Lo queen yang selanjutnya."
Dalam kamus Salsa, queen itu bukan berarti ratu. Namun, sampah yang tidak ada harganya.
"Nggak jelas." Maka sedari awal, bukan kalimat ini yang seharusnya aku katakan.
Karena neraka yang sebenarnya dimulai dari sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...