62 • Paranoia

69 24 0
                                    

Pada dasarnya, memang aku sedikit aneh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pada dasarnya, memang aku sedikit aneh. Sejak kecil, aku memang tidak terlalu diperhatikan. Oleh bapak, atau ibu. Tapi aku tahu mereka menyayangiku.

Aku pernah diperlakukan tidak adil, di olok-olok hanya karena aku kurang di pandangan orang lain. Yang lebih parahnya, mereka memperlakukan aku seperti itu hanya karena aku adalah tetangga anak yang dulu pernah mereka perlakukan tidak adil juga.

Umurku masih tiga belas tahun saat itu, mereka semua menghakimiku. Mereka merendahkanku dengan kata-kata yang mereka punya. Aku si buruk rupa tidak boleh jatuh cinta, katanya. Mereka semua tertawa, tawanya sudah lama hilang, namun setiap kali mengingatnya suara mereka kembali bergemuruh di atas kepala.

Tatapan mereka pun sama. Merendahkanku. Lalu, semenjak dari situ, aku tidak pernah berani menatapi orang lain. Aku takut mereka akan menghakimi aku dengan tatapan mereka. Aku takut mulut mereka terbuka dan mengatakan hal yang sama seperti apa yang pernah dikatakan, dan di lakukan orang-orang di masalaluku. Aku takut. Aku selalu berprasangka buruk, berlebihan, dan tidak masuk akal.

Aku hidup, dan tumbuh dengan perasaan begitu. Bukankah sedikit mengerikan? Aku tersenyum, tapi di dalam hati aku takut mereka akan mengejekku diam-diam.

Lalu, beberapa tahun terakhir ini, aku kehilangan salah satu temanku. Ya, selalu terjadi setiap kali aku mempercayai seseorang. Mereka akan menusukku dari belakang, membicarakanku, dan berpura-pura menjadi teman di depanku. Padahal, dia hanya bajingan, dan seorang pecundang yang mencoba merusak hidup senangku.

Lebih baik begini. Aku tidak punya teman. Sendirian, dan itu lebih baik daripada pikiranku terus penuh dengan prasangka yang berlebihan.

"Alice!" seruan nyaring di balik lampu taman yang temaran, membuat aku lekas menoleh.

Rasanya aku butuh angin segar setelah melakukan semua pekerjaanku di kamar. Aku juga sedikit takut dengan Ibu yang mendiamiku setelah tahu aku resign. Dia menanyakan Malik dan aku katakan saja aku sudah tidak bekerja di tempatnya.

Aku mengenal suara orang yang memanggilku barusan. Bayangan tubuh lelaki tinggi berpakaian rapih itu, membuat aku lekas menghentikan ayunan yang sedang aku mainkan sendirian.

"Ya Allah Alice, kamu ke mana aja? Saya sudah pusing cari-cari kamu!" protesnya membuat aku lekas berdiri dari tempatku tadi.

"Ngapain Kak Tian cari aku? Ada urusan? Dan maaf, sepenting apa pun itu, Malik dan teman-temannya tidak lagi penting untuk saya." Aku kembali mengucapkam kalimat yang sama.

"Saya tahu kamu marah--"

"Kalau tahu, pergi sana."

Padahal, kemarin aku bicara akan meminta maaf kalau sampai aku bertemu lagi dengan Malik, ataupun dengan Septian.

"Dengerin saya dulu--"

"Nggak mau, saya yang pergi kalau begitu," ucapku tidak mau terbuai lagi dengan ucapan Septian yang pasti di suruh si Malik.

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang