🌾🌾🌾🌾
Setelah lama melihat hujan yang turun, sambil merenungi ucapan Malik, pamdanganku lekas kembali ke layar empat belas inchi yang sudah terkunci. Setelah meneguk minumanku, aku lekas mengetik satu kalimat yang barusan terlintas dibenakku. Gawat, kalau tidak segera aku tulis, bisa kalimat itu hilang sepeti air hujan yang menyatu dengan tanah di luar sana.
"Apa yang sedang kamu ketik?" tanya Malik setelah lama memperhatikanku.
Aku tau, sebab meski tanganku mengetik, jiwaku sedikit terusik dengan kehadiran Malik di sini. Mengangkat naik pandanganku sebentar, aku kembali sibuk mengetik lagi.
"Apa pun yang saya tulis, bukan urusan anda," jawabku ketus, namun reaksi Malik malah membuatku kesal.
Dia tertawa mendengar jawabanku tadi.
"Ah sial, apa harus aku buat mati pemeran utamanya? Tidak, menulis ending seperti itu sangat buruk!" lirihku kembali mengamati rentetan kalimat, dalam layar laptopku.
Tawa Malik lekas terhenti, dia menatapiku serius. "Wah, jadi kamu suka menulis?"
Aku diam tidak berniat menjawab pertanyaannya.
"Jangan terlalu kejam, membuat akhir yang bahagia bukan hal yang buruk." Klise. Perkataan Malik terdengar klise di kedua telingaku.
"Bapak pikir akhir yang Bahagia itu ada, ya?" Malik mengangguk menjawab pertanyaanku tadi.
"Akhir bahagia itu tidak ada, akhir yang bahagia itu bohong." Kemudian aku berucap lagi.
"Oh ya? Kata siapa? Dan bisa tidak, jangan panggil saya Bapak? Saya masih muda!" dia masih memprotes tentang nama panggilan yang aku buat untuknya.
"Kata saya, saya yang bilang kalau akhir yang bahagia itu bohong. Karena kalau berakhir, apa itu pantas disebut Bahagia?"
Lalu aku tidak sadar, sudah menghabiskan waktu sambil berbincang dengan laki-laki ini. Sebuah pertemuan yang lebih layak aku sebut kencan ini, aku ingin mengakhirinya sekarang juga.
"Wah, terlalu realistis dan serius itu tidak terlalu bagus, anak muda."
Bagaimana tidak aku panggil bapak, gaya bicaranya saja terdengar tua.
"Berharap pada keadaan juga bukan hal baik. Bagi saya, ada tiga hal yang tidak harus saya percayai di dunia ini. Harapan, manusia, dan cinta," ucapku membuat Malik lagi-lagi memamerkan senyum manisnya
"Well, dunia memang tempat yang luas, kamu bisa terluka kapan saja, kamu bisa menganggap kebahagian adalah hal yang fana. Tapi, kamu jangan terlalu keras sama diri sendiri. Kalau kamu tidak bisa percaya pada apa pun, bukankah setidaknya kamu harus bisa percaya pada satu hal saja?"
"Tidak ada, tidak ada contoh yang seperti itu," jawabku, tidak menemukan satu hal yang bisa aku percayai.
"Ada, satu hal itu dirimu sendiri. Kamu, bisa mempercayai dirimu mulai sekarang," ucap Malik membuat aku lagi-lagi terdiam cukup lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...