.........................
Pulang dalam keadaan begini, aku yakin Aruni akan membombardir ku dengan banyak pertanyaan. Apalagi dia tahu, sebelumnya aku akan bertemu dengan Alice. Sebenarnya, sepulang kerja aku langsung kenrumah, karena tidak ada kerjaan tambahan. Tapi hatiku gundah mengingat kejadian tadi di kantor, Alice tampak bahagia sebelum bertemu dengan Aca. Dan berubah tiga ratus enam puluh derajat setelah bertemu dengan gadis itu.
Untungnya, aku membawa payung di mobilku. Jadi, aku menghentikan langkah Alice yang mencoba berjalan di antara derasnya hujan, dengan tatapan kosong.
Pulang ke rumah membawa wajah kusut ini, hanya akan mengundang bencana untuk telingaku. Lihat, di ujung belokan menuju dapur, gadis kecil itu datang membawa segelas air dingin dengan congkak.
"Yakin abis ketemu Kak Alice? Kok wajahnya ditekuk begitu? Jelek banget, Kak."
Sudah pengang telingaku mendengarnya, padahal Aruni belum mengeluarkan jurus mematikannya.
Uh, aku sudah tidak sanggup.
"Kayak orang habis diputusin tahu, nggak? Sumpah, padahal kalian jadian aja belum."
Sialan, aku kehabisan kata untuk menyerangnya.
"Bukan urusan kamu, Runi. Lebih baik urusi saja remcanamu yang berniat merebut pacar orang," ucapku sepertinya mengatakan kalimat yang tepat.
"Ck, nggak usah sok-sokan ngeledek aku, Kak. Kisah cinta Kakak lebih rumit dari sekedar aku yang mau merebut pacar orang, ya!" Aruni malah semakin berani menantang ku.
"Tapi Kakak jadi, kan, bawa Kak Alice ke sini?" Aku mengangguk dengan yakin.
"Runi, kamu mau bantu, Kakak nggak?"
Dahi gadis itu berkerut banyak mendengar permintaanku.
"Ada masalah?" Aku menghela dan itu cukup menjadi jawabannya.
"Soal apa? Kalau soal deketin Kak Alice sama Kakak kayak hari lalu, aku siap. Tapi, kalau soal nyariin jodoh buat Kak Aca aku males."
Well, pertemuan antara aku dan Alice yang terkesan menganggu acara kencan Aruni dan Alice itu memang benar disengaja. Aku meminta bantuan pada Aruni, dengan tumbal, aku harus mengeluarkan biaya hedonisasi untuk adikku.
"Alice ninggalin Kakak karena Aca," ucapku membuat mata Aruni hampir keluar dari tempatnya.
"What! How! Why are you so stupidly!"
"Stup--id? Who? Me! Kamu ngatain Kakak bodoh?!"
Ribut, aku kembali meladeni kebocilan seorang Aruni.
"Iya, kalau bukan bodoh apalagi namanya!"
Iya bodoh, sih, tidak ada kata lain untuk menjabarkan kelakuan bodohku kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...