66 • My Flashlight

60 26 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.......................


Dalam setiap detak yang berhasil Mahes curi, aku sedang mencoba melupakan bagaimana buruknya masa laluku.

Bagaimana buruknya perkataan manusia terhadapku, belum sembuh, aku masih mencoba berdamai. Mahes sedang membantuku, meski aku tidak pernah menceritakan sakitku pada siapa pun.

Ini rahasia, tapi aku sudah memberitahu pada ke tiga sahabatku, kalau aku menerima cinta Mahes. Setiap hari sudah seperti perayaan bagiku, menerima perasaan yang begitu besar dari Mahes mampu membuat aku hidup dengan luka dari masa lalu. Ini bukan tentang seberapa hebat perasaan Mahes terhadapku. Tapi, dia adalah manusia pertama yang menyeka lukaku, tanpa melontarkan kalimat tanya yang bisa membuatku ingat tentang segalanya.

Dia adalah manusia pertama yang menyandarkan bahunya, dan mengulurkan tangan agar aku mau menjadi temannya. Padahal, dia hanya Mahes, anak laki-laki yang duduk di meja yang sama denganku, menikmati secangkir kopi tanpa mau dadanya sesak karena asap rokok.

Tapi, satu yang membuatku kesal adalah, Mahes selalu menggangguku setiap kali ada kesempatan.

"Jadi, kan?" tanya Mahes yang mendatangi bangkuku sepulang sekolah.

"Jadi, tapi gue beresin dulu tugas buat besok. Lo anter adik lo dulu, sana. Gue tunggu di sini," ucapku menatap Mahes sebentar kemudian tersenyum.

Responnya mencurigakan, sampai akhirnya mataku terbelalak, saat lengan Mahes mengalung di leherku. Aku kira, Mahes akan membisikkan sesuatu, tapi rupanya bandul kecil berbentuk melodi sudah jatuh terjuntai menuruni kerah seragamku.

"Cantik, kan? Kayak yang pakai."

Pipiku bersemu merah karenanya, aku kira Mahes akan menciumku—astaga aku masih sekolah bagaimana mungkin bisa memikirkan hal semenjijikan tadi.

"Gue sengaja beli sebagai tanda terima kasih, karena lo sudi menjadi bagian dari kisah gue. Terima kasih karena sudah mau berjalan berdampingan sejauh ini sama gue," ucap Mahes akhirnya betulan menancapkan satu ciuman di pipi.

"Gue pergi dulu, nanti jadi ya nonton!" Aku bangun dari tempatku, dengan jantung berdebar dan pipi  meruai kemerahan mengiringi langkahku yang kali ini mengusir Mahes.

"Iya bawel, sana pergi!" ucapku sok ketus.

"Idih, malu, ya! Malu, ya!"

Menyebalkan, bukan? Dia malah mengejekku!

"Nggak, Mahes! Sana, adik kamu kasihan udah nunggu!"

"Cih, awas pergi ke Pandora sendiri! Aku sering lihat ya, kamu dilihatin om-om cindo! Gue nggak rela kalau sampai lo jatuh cinta sama cindo itu, hanya karena gue jadi selingkuhan lo! Gue tahu ya, selama ini gue jadi selingkuhan lo sama Park Chanyeol!"

Aku tertawa kencang sekali melihat bagaimana Mahes menceritakan kekesalannya.

"Apa, sih, lagian mana ada cindo demen sama gue Mahes. Ngaco! Lo suka sama gue aja gue masih nggak percaya, ya!" Kemudian, dia memelukku.

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang