77 • Simpul Takdir

78 26 0
                                    

🌺🌺🌺🌺

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌺🌺🌺🌺

Embun pagi di puncak memang terasa beda, dinginnya terasa menusuk sampai ke tulang. Aku berniat olahraga, tapi aku urungkan. Aku punya tugas lain selain berolahraga, ya, aku harus mengganti makan malam yang tertunda.

Selesai mengikat rendah rambutku, aku kembali mengenakan appron yang tidak aku ikat. Aku tidak bisa menyimpulnya. Ini sudah seperti rumahku sendiri, aku melihat bermacam-macam lauk mentah di dalam kulkas. Aku mengambil beberapa, sekalian aku mengambil sayur-sayuran segar. Sepertinya sop ayam cocok untuk menjadi teman hangat di puncak.

Mau tahu tidak? Isi kepalaku mendadak kosong setiap kali aku berhadapan dengan makanan. Aku lebih memikirkan bagaimana cara mengolah makanan ini menjadi enak, aku ingin Malik menikmati masakan ku lagi. Aku ingin melihat, apa reaksinya akan sesenang bapak atau tidak. Atau akan setenang ibu yang mengatakan masakanku enak.

Ah, ibu apa kabarnya ya? Sejenak aku berniat menyalakan ponselku, tapi lekas aku taruh kembali. Ini bukan saatnya aku menangis. Melelahkan. Karena sebagian lembar cerita ini hanya mengisahkan tentang aku yang lagi-lagi menangis.

Tubuhku sedikit ringan, meski kepalaku pusing. Obat yang di resepkan oleh Dokter Catarin membuatku tidur dalam waktu yang cukup. Setidaknya, pukul lima aku sudah bangun. Aku mengirimkan doa dan rindu-rindu ku untuk bapak.

Sambil memasak, satu pikiran tiba-tiba mengusikku. Do'a do'a yang aku kirim untuk bapak, semoga bisa jadi penenang dan penerang dalam kuburnya. Tapi, bagaimana kalau aku menulis kisahku dengan bapak sebagai rasa rindu yang tidak tahu harus aku apakan.

Sebenarnya, minatku pada menulis kembali. Sepertinya, isi kepalaku harus aku tuliskan dalam lembaran-lembaran kertas baru. Sampai akhirnya ide itu luruh masuk ke dalam rebusan soup ayam yang mulai mendidih. Aku mendengar suara seseorang turun dari tangga. Dia pasti Malik.

Karena Bi Susi datang kemari selalu tepat waktu pukul delapan malam.

"Apa kamu tidak bisa mengikat Appronnya? Sini biar aku bantu."

"Morning, Kak Malik. Badannya pasti pegel, ya?" ucapku membiarkan Malik mengikatkan appron ku.

"That's okay, aku bisa tidur di atas kursi kerjaku."

Aku juga baru ingat kalau Malik dulu adalah si gila kerja.

"Bagaimana? Perasaanmu lebih baik hari ini?" Aku mengangguk kecil sebagai jawaban.

Aku sudah terlalu malu menghadapi Malik, tapi melihat bagaimana Malik tidak peduli dan tidak terganggu dengan sikapku, aku merasa sedikit tenang dan nyaman.

"Tentu, Alice mau olahraga tadi pagi. Tapi dingin, jadi Alice bikin soup ayam, Kak Malik lapar, kan? Semalam belum sempat makan, ya?"

"Sudah makan, Septian membeli beberapa dimsum untukku. Dan di kulkas, ada kue keju kesukaan kamu."

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang