Sepertinya, aku sudah terlalu jauh bercerita. Malik, ya, lelaki itu membuat semuanya menjadi terlalu mudah. Sejak kapan aku berani bercerita tentang kelemahanku? Sejak kapan aku berani menangis sehebat itu dihadapan orang lain?
Dalam hela berat yang ku ambil setelah mereda isak tangis dan sesak, akhirnya aku beranikan diri untuk tersenyum pada Malik. Tidak ada lagi yang bisa aku ucapkan selain terima kasih.
"Keluar, yuk? Udah jam lima lewat. Saya butuh ketenangan yang lebih tenang, daripada pelukan," ucapku, lupa kalau kewajiban lima waktuku belum terpenuhi.
Sedangkan barusan, aku baru saja membuat dosa dengan memeluk Malik yang bukan mahramku. Well, aku tau sedikit banyak tentang ajaran yang agamaku katakan. Tapi, aku berada di titik buta arah, aku ingin menangis, tapi aku tidak ingin oramg tau, kecuali Malik. Akhirnya, menjadi seperti ini, aku menangis dalam pelukan Malik. Aku bukan si taat, bukan juga si pendosa. Aku hanya Alice Keinnara yang sedang mencoba lebih baik daripada Alice yang sebelumnya.
Meski sering salah arah, Alice akan yakinkan kalau dia tidak akan tersesat dan terjerat dalam lingkaran dosa.
"Kak Malik bisa pulang duluan, saya mau ke masjid dekat taman."
"Saya ikut. Biar saya antar kamu, sambil jalan-jalan sore," ucap Malik tidak peka.
Aku itu malu, dan ingin sendiri dulu. Tapi, kenapa Malik terus mengikutiku?
"Nggak usah-"
"Nggak apa-apa. Ayok jalan," katanya, tapi dia malah belok dan memesan sekotak kue kesukaanku.
"Kue mu tidak habis tadi, ini bawa pulang," kata Malik membuatku tidak enak untuk menolak.
"Kak Malik! Kan, Alice bilang nggak usah." Tapi, jaim diperlukan sebelum menerima sesuatu, bukan?
"Nggak apa-apa, ayok jalan."
Diperjalan, hanya bunyi kantung kresek yang menjadi pemecah keheningan di antaraku dan Malik. Dalam langkah yang aku ambil sejajar dalam keheningan, satu pertanyaan yang Malik lontarkan berhasil membuat dadaku semakin berdegup gila.
"Saya dengar, agamamu melarang laki-laki dan perempuan melakukan kontak fisik seperti tadi. Aku minta maaf, ya."
Malik tahu?
"Ah, tidak-"
"Jangan bilang tidak apa-apa, lain kali saya akan belajar lebih banyak tentang agamamu." Malik juga memikirkan hal yang sama denganku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...