Semuanya berjalan seperti yang aku inginkan, dengan menandatangai kontrak kerja selama 3 bulan.
Aku tersenyum lega, sembari mengikuti langkah lelaki bernama Septian. Kami memasuki gedung bertingkat dua ini. Aku baru tahu, kalau ternyata ruang produksi pabrik itu luasnya bukan main. Kemudian, langkah kakiku berhenti di satu ruangan. Dari luar kaca, aku melihat beberapa kursi dan meja yang sudah di tata serapi mungkin.
"Ini kantornya, kamu bisa duduk di sana." ucap temannya si Malik yang ku pikir pecinta kebersihan itu.
Sekarang, aku tau nama lengkapnya. Septian Andrean, aku kira waktu Malik memanggilnya Sep, namanya Asep, well ternytaa Septian. Nama yang bagus.
"Halo semuanya, saya Alice Keinnara. Untuk sementara, saya akan mengisi kursi kosong di sini, sampai Bu Arianti selesai cutinya."
Semua orang memasang senyum ramah padaku.
Awalnya, aku gemetaran, takut, tidak berani menatap mereka. Namun, setelah beberapa kali aku belajar untuk tidak terlalu menghiraukan hal-hal yang belum terjadi, aku memberanikan diri untuk melihat rekan kerjaku. Mereka semua tersenyum.
Mereka menerimaku? Mereka tidak akan meremehkanku, kan? Aku takut sekali sebenarnya. Namun, senyum mereka itu membuatku yakin, kalau prasangkaku itu salah. Dan akhirnya aku tau kalau itu palsu.
Selain mengandalkan diri sendiri, Septian ternyata banyak membantuku. Selain banyak melakukan kesalahan kecil, dan tentu saja Septian yang membenarkannya, aku akhirnya mengetahui senyum apa yang mereka beri untukku.
Satu minggu setelah bekerja di sini, aku memang cepat akrab dengan Septian. Dia mengajariku banyak hal, memberitahuku tentang input data perusahaan, tentang pengeluaran, dan pemasukan ke perusahaan. Serius, dia sangat terampil.
Nah, kebetulan saat istirahat, aku tidak pergi ke luar. Karena malas, seperti biasa Septian menghampiriku. Memberi dua bungkus onigiri dan sebotol minuman berisotonik.
"Dari Malik, jangan lupa makan katanya."
Aku terdiam cukup lama memandangi nasi segitiga berselimut rumput laut yang dibawa Septian tadi.
"Dimakan, Alice. Kamu nggak akan kenyang kalau makanannya diliatin doang mah," ucap Septian membuat aku sadar.
"Kak Tian asli mana, sih?"
"Bapak saya orang Banyuwangi, Ibu saya orang Sukabumi, karena saya lahir di tataran sunda, di bumi Siliwangi, bahasa sunda saya lebih lancar dibanding bahasa jawa. Kenapa? Penasaran, ya?" katanya membuatku menyapa nasi segitiga itu sambil tersenyum.
"Nggak, cuma tanya aja."
"By the way—" ngakunya orang sunda, tapi bahasanya anak Jakarta Selatan.
"Kamu pacaran sama Malik? Temen saya yang satunya udah coba cari staff yang bisa gantiin sepupunya si Malik, tapi anak itu keukeuh katanya dia nunggu orang lain buat isi kursi ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...