Prasangka dan mimpi buruk adalah musuh dalam selimut yang tidak pernah bisa aku taklukkan sampai hari ini. Entahlah, setiap melihat orang lain, aku selalu berpikiran kalau mereka akan melakukan sesuatu yang buruk padaku. Padahal, tidak semua begitu.
Malik sudah pulang setelah dia menghabiskan waktu berbincang dengan bapak, aku tidak ikut. Aku hanya duduk mendengarkan perbincangan mereka, sambil sibuk mengunyah makanan yang Malik beli tadi.
Ini terasa seperti kencan sungguhan bagiku. Sampai malam pukul sepuluh, akhirnya Malik pamit undur diri.
Sebelum aku mengantar bapak ke kamar, dia menghentikan langkahku. Setidaknya hari ini aku senang, bapak yang tidak mau makan makan banyak sekali. Tubuh bapak benar-benar habis, dia sampai tidak bisa berjalan sendiri. Jadi, aku membelikan kursi roda ini. bagaimana mau berjalan, makan saja bapak tidak pernah. Hanya satu suap sebelum minum obat.
"Bapak, dua minggu lagi Alice gajihan, Bapak mau main ke mana lagi?" Mendengar kalimat pertanyaanku, bapak tersenyum.
Kami masih di luar, bintang di awal bulan ini menggantung rendah. Kawanan bintang yang terlihat bersinar juga memenuhi angkasa malam ini.
"Bapak nggak akan ganggu kencan kamu lagi, terima kasih, Nak, sudah menunjukkan kamu yang lebih bahagia hari ini pada bapak," ucap bapak selalu membuat jantungku berdegup kencang.
menghimpit ruang napasku menjadi lebih sempit, sesak di dalam sini sudah tidak dapat aku jelaskan lagi.
"Alice juga seneng lihat Bapak makan banyak sekali hari ini." Tidak ingin membuat suasana menjadi sendu, aku membalas ucapan bapak dengan kalimat positif. Berharap setidaknya bapak tidak akan pernah menyerah untuk sembuh.
Kami berdua masih di luar memandangi bintang-bintang yang terlihat sangat cantik malam ini, sampai akhirnya fokus kami terpecah ketika pintu terbuka. Ibu keluar dari dalam sana, baju santainya malam ini membuat Kiran tampak lebih cantik malam ini.
"Sudah malam, cepat masuk. Angin malam tidak cocok untuk bapak," ucap ibu memandangi kami di ambang pintu.
Tangannya terlipat di dada, menandakan cuaca malam ini memang terasa sedikit dingin.
"Bu, anakmu sudah dewasa," ucap bapak membuat aku mengerucutkan bibir.
"Baguslah, jadi kalau dia tidak mau bekerja lagi, suruh saja pacarnya menikahinya," jawab ibu menikamku tepat di ulu ati.
"Alice bukan nggak mau kerja, kalau Alice nggak kenal Malik, sampai hari ini mungkin Alice--"
"Bersantai di kafe, minum kopi, menghbiskan uang Bapak. Itu kerjaan kamu selama ini. Kalau tidak, seharian kamu hanya menghabiskan waktu di kamar, bergadang, makan, tidur, sangat tidak berguna," ucap ibu membuat air mataku berkumpul di sana.
"Ibu tahu, nggak? Kenapa Alice bisa diem berhari-hari di kamar? Karena kalau Alice keluar, Alice pasti denger penghakiman kaya gini dari ibu. Alice bukan mau menjadi nggak berguna, tapi Alice sudah melakukan sebisanya, Bu. Dari mulai nggak bergadang, dari mulai mengurangi minum kopi, sampai lupain semua hal buruk di masa lalu itu susahnya kaya apa. Ibu cuma nyuruh Alice ini itu, tanpa pernah bertanya kamu kenapa? Tanpa pernah ibu tahu, rasa sakit apa aja yang coba Alice kubur sampai Alice nggak pernah kekuar kamar sampai berminggu-minggu."
Kiran terdiam, bahkan Kusuma juga ikut terdiam mendengarnya.
"Ada yang lebih bikin capek daripada di usir satpam tiap kali melamar kerjaan, Bu. Ini, ucapan orang tua yang kadang matahin semangat anaknya itu beneran bikin capek. Ibu tanya kapan Alice jadi lebih berguna? Alice juga nggak tahu, Alice udah coba berusaha, kalau Ibu emang nggak bisa ngasih suport apa-apa, diamnya Ibu bakal lebih Alice hargai," ucapku membuat bapak menahan lenganku yang hendak pergi.
"Bisanya ngeles terus, kalau udah ngobrol sama Bapaknya, cepet masuk." Dadaku berdesir hebat melihat ibu meninggalkan kami ke dalam rumah.
"Siapa yang jahatin kamu? Anak laki-laki yang namanya Mahes itu?" tanya bapak mengerti maksud yang aku katakan.
Namun, itu semua bukan karena Mahes. Aku terdiam cukup lama, memandangi bapak dengan mata berkaca-kaca. Kemudian, aku jatuh bersimpuh, menjatuhkan kepalaku pada bapak. Ibu merusak segalanya.
"Siapa yang jahatin kamu? Kenapa kamu nggak pernah cerita?" Ucapan Bapak malah makin membuat tangisku pecah ruah.
"Nak, cerita sama Bapak," kata bapak lagi.
Mungkin, ini kali pertama bapak melihatku menangis sehebat ini. Sampai kelas tiga SD aku memang terkenal cengeng. Namun, setelah memahami arti berpura-pura kuat, tangisku hanya aku persembahkan di atas bantal. Ditemani malam yang kadang hujan datang tanpa diundang.
"Nak," panggil bapak membuat dadaku makin berdebar kencang, dalam sesak yang sudah tidka bisa lagi aku jabarkan bagaimana lagi bentuknya.
"Pak, Alice belum dewasa seperti apa yang Bapak katakan. Tumbuh dewasa bersama rasa takut itu amat sangat mengerikan, Pak. Nggak ada rumah tempat Alice buat pulang. Alice sulit percaya sama orang-orang. Alice takut diremehkan karena Alice memang payah yang benar-benar payah. Alice selalu takut mendapatkan hinaan lebih parah, daripada waktu dulu. Alice takut betulan menjadi tidak berguna karena termakan ucapan manusia," ucapku kemudian terisak lagi setelahnya.
"Bapak minta maaf," ucap bapak terdengar serak.
Tangannya yang sedari tadi mengusapi rambutku, kini beralih menyapu pipinya yang terjatuhi setetes air mata.
"Bapak salah juga, karena kurang perhatian sama kamu. Ibu kamu juga mungkin terlalu menuntut banyak hal sama kamu. Iya, ucapan manusia, perbuatan manusia pada kita memang tidak dapat kita kendalikan. Mereka bisa bersikap semaunya, merasa dirinya lebih baik daripada orang lain, itu bukan kuasa kita, mencoba menerimanya juga bukan hal yang mudah. Karena kita manusia, kita pasti mudah terluka."
Bapak benar, sedangkan tangisku tambah parah setelah mendengarnya.
"Manusia yang seperti itu sama seperti landak berduri. Terlihat sangat kesepian, terlihat sangat tidak pantas dicintai, karena durinya bisa melukai siapa saja yang mendekati. Kamu, hanyalah sebagian orang yang tidak beruntung karena bertemu landak tadi. Betul, dia kesepian, betul dia ingin dicintai. Tapi, dia menyadari kalau dia tidak seberuntung kamu. Jadi, saat dia menyadari betapa menyedihkannya dia, dia menyakitimu."
Alih-alih landak berduri, aku betulan ingin menamai manusia manusia itu seperti ikan buntal! Beracun.
"Nak, kamu harus mencoba melepaskan belenggu itu. Sulit, bapak tahu itu, tapi kamu bisa bercerita seperti ini pada bapak. Dulu, mungkin kamu membiarkan pendapat orang lain mengendalikan hidupmu, karena kamu ingin mendapat balasan seperti dicintai. Tapi, dari mulai sekarang, kamu harus bisa belajar mencintai diri sendiri tanpa memperhatikan, tanpa memperdulikan pendapat orang lain, karena kamu juga pantas untuk merasa lebih bahagia."
Dari dulu, aku berpikir kalau aku menceritakan segalanya, aku akan dikasihani. Atau mereka tidak akan mempercayai ceritaku. Tapi, aku salah. Ternyata, banyak orang yang menyayangiku, persis seperti ucapan Malik.
Kenapa aku sudi tenggelam dalam pendapat jahat manusia-manusia yang tidak tahu bagaimana cara memanusiakan manusia lainnya?
Bukan aku yang payah, aku yang hebat dan mereka yang payah karena tidak pernah tau apa itu cinta, apa itu artinya menghargai sesama.
Ya, yang pecundang itu mereka, bukan aku.
.....................
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...