49 • Dandelion

71 27 0
                                    

"Berisik!" gumamku kembali menambah volume dalam earphone yang kupakai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Berisik!" gumamku kembali menambah volume dalam earphone yang kupakai.

Padahal, volumenya sudah mencapai batas maksimal. Sedangkan suara di dalam isi kepalakutidak juga mereda, malah semakin berisik.

Aku menyukai Malik. Namun, aku tidak suka di remehkan seperti hari kemarin. Aku mendapatkan kejutan luar biasa di hari ulang tahun Malik. Rasanya, luka yang ku kira sudah kering, kini perih kembali setelah ditaburi garam.

Ternyata, selama ini aku berhasil mengelabui diriku sendiri, kalau aku baik-baik saja. Sampai pada akhirnya, aku bertemu lagi dengan tatapan yang sama. Tatapan yang mengatakan seolah aku tidak pantas untuk segalanya.

Meski ada satu perasaan yang menguap setelah aku mengucapkan kalimat yang selama ini ingin aku ucapkan pada Salsa, pada akhirnya aku kalah ketika dia membawa nama Juan dan kekasihku yang sudah lebih dulu pergi ke surga.

Aku tidak merasa kalah seperti aku di masa lalu, sebab di masa lalu aku diam menghadapi manusia jahat itu. Dan kemarin, semua orang memihakku. Ada Malik yang menjadikan dirinya sebagai tameng untukku menghadapi Salsa, dan Aca. Kemudian, Aruana juga datang untuk memelukku dan menenangkanku. Katanya, tidak apa-apa, tidak semua manusia di muka ini baik. 

Meski isi kepalaku berisik dengan bisikan-bisikan yang entah dari mana asalnya, tawa-tawa mengejek milik Salsa dan Aca selalu memenuhi isi kepalaku belakangan ini.

Namun, bulan Julli di mana kemarau panjang datang. Bulan Juli dengan tanggal merah yang datang berjejeran dari Minggu ke Minggu, merupakan hal baik yang datang kepadaku saat ini.

Aku harus cepat tidur, dan mereda segala kebisingan yang ada di dalam isi kepalaku.

.....................

Siang ini, nyatanya Juli diguyur hujan. Aku duduk menemani bapak melihat rintik air yang jatuh dari balik jendela kaca. Sebenarnya, hanya aku yang melihatnya, bapak terlihat asik menutup matanya. Selain memijiti lengan bapak, aku tidak bersuara. Menahan diri untuk tidak berpikiran jelek setiap melihat bagaimana kerasnya bapak berjuang untuk sembuh.

Tiba-tiba, satu pertanyaan aneh menghinggapi pikiranku yang tidak seberisik biasanya. Ya, hujan mampu mereda suara-suara dalam pikiranku menjadi tenang yang selama ini aku cari.

"Pak, kalau Malik masuk islam, Bapak bakal restuin Alice, nggak?"

Aku lihat, bapak yang sedari tadi memejamkan mata mendengarkan air hujan yang turun, kini terbeliak menatapiku yang tengah memijati lengan bapak yang tampak kurus. 

"Kalau cari suami itu satu yang paling penting, pastikan seiman sama kamu. Kalau iman kamu sama dia beda, bahagia cuma kamu dapetin di dunia, Nak." Iya, dunia yang tidak abadi ini hanya menjadi tempat permainan tipu daya umat manusia yang lemah seperti aku.

"Sebelum bicara tentang Malik, kamu kenapa lagi sama ibu? Perang terus setiap hari, nggak capek?" Aku cemberut mendengar pertanyaan bapak.

Ada alasan kenapa aku bertanya pada bapak, karena ibu lagi-lagi membuat hatiku sakit.

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang