72 • Deep Talk

78 26 0
                                    

Healing terbaik yang aku punya sekarang hanya ini, kabur dari rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Healing terbaik yang aku punya sekarang hanya ini, kabur dari rumah. Malik membawakan psikiater untukku, lalu aku dengan tidak tahu dirinya meminta Malik untuk tidak menemuiku ketika aku berbicara dengan dokterku.

Aku menyuruh Malik pergi dan mengurusi pekerjaannya, aku sudah berjanji. Tapi, seperti biasa Malik tidak akan pernah membiarkanku sendiri. Jadi, dari atas kamarku, aku melihat Septian yang tengah duduk sbil meminum sesuatu dari dalam gelasnya. Sepertinya, dia meminum teh hangat. Dia tidak menyapaku seperti hari lalu, padahal aku berhutang terima kasih padanya. Namun, aku terlalu malu untuk menghadapi orang-orang terdekatku.

Aku sudah menduduki sebuah kursi single yang Malik tiduri semalam. Di sampingnya, ada sebuah lampu bertiang tinggi. Mirip seperti lampu yang berada di atas meja belajarku.

Di hadapanku, ada seorang wanita. Dia terlihat masih muda, mungkin baru memasuki awal 30an. Rambutnya sebahu di sisir rapih, kemudian bingkai kacamata kotaknya  membuat aku mengingat mimpiku hari lalu. Sebelum ingin menjadi seorang jurnalis, aku ingin menjadi dokter. Tapi, tidak jadi. Aku tidak mampu. Nilai matematikaku selalu di bawah rata-rata.

"Saya Catarin," ucapnya sambil tersenyum. "Kamu bisa bicara santai pada saya, kalau kamu membutuhkan sesuatu atau ada sesuatu yang mengganjal, kamu bisa menceritakanmya pada saya."

Aku masih terduduk, menatapi lampu yang tidak menyala. Meremat tanganku yang berkeringat, aku menghela napas panjang sebelum bercerita.

"Saya ingin bercerita tentang seberapa takutnya saya saat itu. Tentang betapa kesepiannya saya saat itu." Aku memulai semua ceritaku pada Dokter Catarin.

"Saat itu usia saya masih muda. Mereka mengejek saya dengan ucapan mereka, saat saya di remehkan dengan tatapan mereka, saat tidak ada yang mau menerima saya di samping mereka, saya ingin mati saja saat itu rasanya. Dunia saat itu rasanya terlalu kejam untuk saya. Saya tidak tahu, apa saya yang terlahir seperti ini adalah salah saya? Kenapa rasanya sangat tidak adil, kenapa harus saya yang harus mereka lukai, kenapa harus saya yang mereka ejek, yang mereka rendahkan, padahal katanya manusia itu sama."

Aku akan memulai ceritaku dari sini. Dari awal mula duniaku hancur.

"Orang tuamu?" Aku menggeleng sebagai jawaban.

"Bukan, meski orang tua saya sibuk, bapak tidak pernah lupa membelikan saya kue bolu ketan setiap kali pulang membeli bahan di pasar. Bahkan ketika saya punya adik, bapak saya selalu menyisihkan beberapa cemilan untuk saya. Padahal katanya saya sudah besar. Kenapa keadilan seperti itu tidak saya dapatkan juga di luar? Kenapa yang saya dapatkan justru melukai saya sampai akhir? Saya tidak tahu bagaimana cara saya percaya pada  orang lain, di saat saya bahkan tidak dapat mempercayai diri saya sendiri. Bagaimana saya bisa bersikap baik, bahkan ketika mereka mengatai saya cantik saja, prasangka buruk itu selalu berkata bahwa mereka sedang mengejek saya Seperti waktu dulu?"

Air mata mulai mengalir, aku sama sekali tidak berani menatap wajah cantik psikiater di depanku.

"Saya merasa rendah diri, sampai akhirnya saya terlalu banyak mengurung diri di kamar. Orang lain bilang saya banyak tertidur, nyatanya saya tidak pernah memejamkan mata saat malam datang. Kepala saya terlalu berisik, malam yang katanya tenang nyatanya selalu berhasil mengusik saa untuk tetap terjaga. Dari mulai saya itu bahkan sampai hari ini, seharipun saya tidak pernah bisa tertidur dengan tenang walau semalam."

Banyak orang yang tidak menyadari betapa pentingnya menjaga kesehatan mental. Aku salah satunya. Seharusnya, dari awal aku mencari teman untuk bicara, mencari teman untuk membela aku yang sedang diinjak harga dirinya. Namun, pilihanku dahulu adalah diam dan memendam.

Jadi, saat apa yang pendam ini tidak bisa lagi aku tahan semuanya meledak. Hancur berantakan, dan puing-puing rasa sakitku akhirnya menyakiti orang di sekitarku.

Seharunya, dulu aku berkonsultasi dengan masalah yang aku punya. Namun, dengan sombongnya aku berkata aku bisa sendiri menghadapi. Lalu akhirnya, aku tidak kuat dan sempat berpikir untuk mati.

Aku beruntung, sebab sebelum sempat aku mati, aku pernah menceritakan tentang peran orang jahat yang mengusik kehidupan damaiku. Aku pernah menghujat orang jahat itu dengan teman-temanku, sejenak aku merasa lega, namun ternyata itu tidak membuat semuanya menenang. Setiap malam aku masih sulit tidur, setiap malam aku masih sulit mengendalikan diriku untuk tidak berpikiran buruk tentang oramg-orang baik yang berada di sekitarku. Aku jadi terlalu paranoid untuk segalanya.

"Kemudian, saat semuanya membaik, saat aku mencoba untuk melupakan rasa sakit itu, aku malah kehilangan Bapak. Hancur dunia saya dalam sekejap, yang saya dekap bukan lagi hangat pelukan Bapak, tapi luka atas kehilangan itu bertambah banyak di dalam sini," ucapku menepuk dadaku sendiri.

"Aku kehilangan arah, aku kehilangan tujuan, aku kehilangan semangat hidup, kehilangan Bapak membuat aku merasa kehilangan segalanya."

Ya Tuhan, setelah bercerita sambil menangis tersedu seperti ini rasanya menenangkan kegelisahanku selama ini.

"Saat saya menyadari kehilangan Bapak lebih buruk rasanya daripada dihina-hina manusia yang tidak bisa memanusiakan manusia lainnya. Ketakutan saya untuk melangkah maju bertambah besar, sampai akhirnya kemarin saya memutuskan untuk mati."

Bapak memang sudah lama tidak ada. Tapi, aku terus mengingat waktu dulu. Waktu aku masih duduk di bangku sekolah dasar, aku selalu mendengar deru motor yang bapak nyalakan. Setiap pagi pukul lima, aku melihat bapak sudah mengenakan jaket cokelat susunya. Membeli kain, lalu tidak lupa membeli jajanan pasar untuk sarapan pagiku. Bolu ketan hitam, kadang sate kikil bumbu kuning.

Dalam perjalannya untuk sembuh, bukankah banyak sekali hal yang harus aku lalui?

Aku pernah jatuh, kemudian bangun, lalu terjatuh lagi. Aku pernah hampir ingin mati, namun Malik memelukku lagi.

"Jadi, kamu mengalami insomnia, selalu cemas dan was-was karena kejadian di masa lalu kamu. Kehilangan gairah untuk melakukan aktivitas setelah kehilangan sesuatu, memang bisa saja terjadi. Tapi, itu tidak wajar kalau kamu terus-terusan merasa bersedih selama lebih dari dua minggu. Kamu sudah melakukan hal yang tepat untuk berbicara dengan saya, dan saya di sini ada untuk membantu kamu. Ah, sebelumnya saya mau bilang terima kasih sudah bertahan. Kamu hebat, benar-benar hebat."

Insomnia dan ketakutan berlebihku sebagian besar berasal dari depresi dan anxiety. Wah, untung aku tidak gila. Tapi, aku hanya ingin mati saja. Bertemu dengan bapak. Sepertinya akan begitu, kalau aku tidak bertemu Malik.

Ya, aku berpikiran seperti orang terbelakang. di saat orang lain berjalan maju dengan membuka lembaran baru, menulis kisah, meninggalkan jejak untuk masa depan, yang aku lakukan hanya satu. aku terus-terusan membuka lembaran masa lalu. aku terus-terusan menyesali sesutu yang tidak aku lakukan di masa lalu. au terus-terusan melihat diriku yang tidak berguna di masa lalu. aku terus-terusan melihat betapa menyedihkannya aku di masa lalu, pun, itu masih berjalan sampai sekarang. 

.....................

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang