26 - Titik Titik

116 41 0
                                    

🌺🌺🌺🌺

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌺🌺🌺🌺

Kebiasaanku setiap pagi adalah, berolahraga mengelilingi gedung perushaan milik Ayah Xian. Ayahku. Ya, terkadang aku sengaja datang pagi-pagi buta hanya untuk melakukan rutinitasku ini.

Tidak seperti biasanya, Septian yang galau setelah putus dengan kekasihnya malam itu, ikut menemaniku berlari di dekat taman sekitaran mushala dekat gedung utama. Dia terlihat lelah dengan mata kurang tidurnya itu.

"Habis lihat lo gue jadi mikir, kalau gue putus sama Alice, apa gue bakal segalau lo?" gurauku seraya memutar botol minumku, meneguknya sembari menoleh untuk melihat reaksi Septian.

"Lo udah jadian, Mal!?" Pertanyaan Septian, sukses mengundang atensi para karyawan untuk memandangi  dua lelaki tampan dengan handuk kecil putih di lehernya. Salah satunya aku, lelaki tampan itu.

"Masih jauh untuk sampai tahap itu, dan gue nggak yakin bisa sampai di tahap itu. Sebab, cita-cita gue tinggi kalau udah bayangin jadi pacarnya si Alice." Lihat, aku bahkan mampu membual saat membayangkan Alice.

"Gawat! Belum jadian udah bucin! Gue sampai heran, kok, ada orang sealay lo?" Septian terbahak setelah mengejekku dengan kalimatnya yang terdengar kurang ajar.

"Mau dipotong gaji berapa bulan? Tiga bulan kayanya nggak cukup, ya?" Aku tersenyum menang begitu melihat wajah syok Septian.

"Sadis! Gue ledekin mainnya potong gaji! Bos macam apa yang mempermainkan gaji karyawan, Hah?!" kata Septian terdengar syok berat.

"Mau tambahan gaji, nggak?" lalu, aku menawarkan hal lain, hal yang tidak mungkin Septian tolak.

"Ada kerja tambahan?" Tuh, apa aku bilang! Soal uang Septian tidak bisa balik badan lalu pulang.

"Ini, kartu khusus buat beli kopi si Alice, Latte double syrup, sama cheese roll cake. Setiap pagi di meja dia, oke?"

"Maksud lo? Gue jadi babu, lo?"

"Nggak mau ya udah, satu bulan gaji ditambah satu bulan gaji dalam satu bulan? Bayangkan segendut apa rekening lo? Maybe, si Salsa mau balikan sama lo." Aku tidak sedang mengejek, namun beginilah caraku merayu agar Septian mau.

"Oke, gue beli sekalian buat gue, ya?"

"Sure, selama lo nggak ketahuan—pokoknya selama Alice nggak tau, lo boleh ambil apa pun," kataku memberi sebuah kartu padanya.

"Tenang Koko Mal, aman." Sepersekian detik, kartuku beralih ke tangannya. "Tapi emang bakal mudah?"

"Nggak yakin," jawabku setelah beberapa langkah aku ambil dalam hening, aku juga tertegun mendengar pertanyaan Septian.

Apa semua akan dipermudah untukku dan Alice?

"Kalau gue mau sama Alice, gue nggak ada hak buat maksa Alice seiman sama gue. Kemarin gue tanya sama anak muda waktu nganter Alice ibadah, katanya cinta beda agama itu sangat di tentang Tuhan. Terus gue tanya, apa islam itu susah? Katanya, indah. Gue bilang, kalau gue belajar sekarang, apa terlambat? Apa Alice, keluarganya, dan Tuhannya bakalan menerima gue? Terus dia bilang, 'kun fayakun, yang terjadi maka terjadi. Gue nggak begitu paham, tapi mendengar itu gue jadi yakin, Sep."

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang