20 - De ja vu

147 44 0
                                    

🌾🌾🌾🌾

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌾🌾🌾🌾

Malam minggu, sudah menjadi rutinitasku berkumpul bersama ketiga orang gila yang aku sebut sahabat.

Malam ini kami berkumpul untuk meminum soda, plus makanan ringan yang Anna beli sepulang kerja. Ada juga sisa remahan roti yang Anna bawa dari tokonya. Well, tidak benar-benar remahan.

"Ciee yang udah dapet kerja, plus hari pertama kerjanya dijemput ayang!" Mataku membola menatapi Anna, darimana dia tau?

"Hah? Si Alice, jalan sama cowok? Bentar, sama cowok kasep yang kemaren, bukan?" Terlihat Anna mengangguk pelan menanggapi pertanyaan Sheril.

"Lo tau dari mana? Gue nggak pernah cerita." Aku menatap Anna curiga, sembari mengupasi kacang kulit yang sudah aku raup banyak-banyak dalam telapak tanganku.

"Mata gue, gue liat sendiri dong! Hebat, kan, mata gue pagi waktu itu?" Wah, aku lupa kalau aku tetangganya Anna, anak gadis yang selalu bangun pagi untuk pergi bekerja.

Jadi, wajar kalau Anna bilang dia melihatku.

"Buruan cerita!" seru Ririn tampak antusias.

"Apa, sih, orang gue mau jalan ke depan tiba-tiba dia ngeklakson gue. Adeknya ngajakin gue bareng," jawabku, mengunyah kacang kulit yang sudah aku kupas.

"Ah, si anak SMA yang keliatan bingung depan Pandora waktu malem itu? Lo bilang, dia adiknya Malik, kan?" tanya Anna, mungkin ingat siapa itu Aruni.

"Gila, gila, udah dapet restu dari adiknya aja!" Dan Sheril mulai lagi.

"Jangan ngaco, gue nggak ada niat serius, meski gue bilang suka dia. Catat! Gue nggak akan memperjuangkan apa pun buat dia. Dan kalau pun dia suka sama gue, dan gue suka sama dia, endingnya pasti pisah," ucapku yakin, ya bagaimana tidak yakin, perbedaan membentang jelas di antara aku dan Malik.

"Berat jadi lo, Al. Susah jatuh cinta, sekalinya jatuh cinta malah beda agama?" celetuk Ririn mengerti ke arah mana pembicaraan ini berlangsung.

"Mending, daripada beda dunia, kan?" tanyaku membumbui sedikit tawa kecil agar suasana damai ini tidak aku rusak.

"Betul, tapi ada yang lebih parah, sih. Jatuh cinta sama orang yang nggak cinta sama kita," ucap Sheril membuat suasana kembali mencair.

"Tapi by the way, ini lebih rumit daripada sekedar beda agama. Bisa backstreet, kan? Yang parah ya ini, kasta. Orang punya kaya Malik, bukannya agak sedikit sulit, ya? Buka  Maliknya maksud gue, tapi keluarganya," kata Ririn menuntun aku untuk mengatakan hal yang ingin aku katakan.

"Betul! Dinding kita itu tinggi. Kasta, tahta, agama, nggak ada yang sama. Ibaratnya dia ksatria, sedangkan gue cuma sudra. Gue, nggak mungkin bisa ngehancurin dinding itu sendirian—"

"Tapi, kalau Malik nggak peduli soal hal yang lo khawatirin, dinding yang lo kira tinggi itu, dinding yang lo kira kokohnya nggak akan hancur, kalau Malik sendiri yang hancurin, bagaimana? Gue tau karakter lo, Al. Lo yang sulit percaya sekalipun sama kita, gimana kalau Malik sendiri yang coba yakinin lo?" ucap Sheril membuatku membatu sebentar.

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang