80 • Became Close To You

95 27 0
                                    

Dalam dekapan Ibu, aku mendengar denyut nadi yang sering aku dengar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dalam dekapan Ibu, aku mendengar denyut nadi yang sering aku dengar. Denyut nadi Ibu yang selalu menjadi temanku ketika dia menyusuiku dulu, denyut nadi ibu yang selalu aku cari dalam dekapan ibu ketika aku mulai gelisah dulu.

Aku tatap satu persatu wajah orang-orang yang mengelilingiku. Mata mereka basah, namun sorot matanya terlihat sangat bersyukur melihatku kembali.

Malik juga tetap berada di sisiku, dia tidak kembali, dia menatapku dengan genangan air mata di sana.

"Ibu baca tulisan-tulisan kamu, Al. Ibu nggak pernah tahu, kalau ternyata tulisan kamu itu indah. Ibu dulu sering mencela kamu dengan kata tidak berguna, kan? Iya, ibu salah. Di sini ibu yang menjadi tidak berguna karena terlalu mengejar dunia. Ibu tidak pernah melihatmu yang ternyata begitu kesusahan hidup setelah temanmu itu tiada."

Aku terdiam, tidak bicara, atau berniat menimpali ucapan ibu.

"Semua kalimat yang kamu tulis itu indah, pesannya tersampaikan sama indahnya juga. Dalam cerita kamu, kamu sering menulis tentang bagaimana tokoh-tokoh di dalam sana saling jatuh cinta, bukan? Kamu menulisnya dengan sangat apik, seperti simpul tali yang terikat dengan cantik. Kamu hebat, bisa memperkenalkan cinta, padahal ibu tidak pernah memperkenalkannya pada kamu, bukan?"

Iya, ibu di masa lalu jahat sekali padaku. Dia keras, dia terlalu menuntut, dia terlalu mendorongku untuk menjadi lebih baik, tidak peduli saat aku terjatuh dan terluka sekali pun.

"Hangat ...," Gumamku dalam pelukan Kiran. "Alice nggak pernah tau kalau pelukan ibu itu hangat."

"Maaf juga, karena ibu tidak pernah memberikan kehangatan sesederhana ini. Masih sakit, Nak, hati kamu? Karena perkataan ibu, karena perbuatan ibu, apa masih sakit?"

Aku menggeleng, sedikit tersenyum kemudian memandangi ibu dengan senyum manis, dan telaga jernih mulai mengumpul di pelupuk mataku.

"Sudah sembuh, Ibu sudah mengobatinya. Sepertinya, aku sudah sedikit berani untuk menerima diri yang banyak kurangnya ini. Sepertinya juga, aku mulai mengikhlaskan kepergian Bapak, karena Bapak lebih butuh do'a-do'a dibandingkan tangisan tidak rela atas perginya Bapak."

Ibu mengusapi belakang kepalaku, satu tangannya yang melingkari punggungku tidak kalah dari balutan kasih sayang ibu yang mulai menepuk-nepuk kecil di sana.

"Hebat, anak Ibu hebat!"

Aku menangis lagi.

Lagi, dan lagi.

Dadaku berdesir hangat, dengan hebat Ibu membuat segala perasaan di masa laluku yang tertinggal, ikut pergi. Ringan, dadaku berdebar dengan tenang, napas yang ku buang berangsur teratur dan tidak lagi berantakan.

"Ibu menyesal, dua ribu persen menyesal karena selalu berkata buruk pada kamu. Padahal anak Ibu sehebat ini, kamu tetap melakukan apa yang kamu suka meski orang lain menilai tidak berguna. Karena kamu tahu, apa yang kamu suka, daripada apa yang mereka harapkan dari kamu, bukan? Apa kesalahan Ibu termaafkan hanya dengan kata maaf?"

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang