🌾🌾🌾🌾
Anna, Sheril, Ririn, temanku sejak aku masih memasuki taman kanak-kanak. Tumbuh besar dalam lingkungan yang sama membuat persahabatan kami berada dalam kategori kerabat akrab. Kami sudah seperti keluarga, dengan Anna sebagai kakak tertua, dan aku sebagai si bungsunya.
Aku dan Anna hampir tidak pernah berpisah, masuk ke SMP yang sama, kemudian di SMA aku satu sekolah lagi dengan dia dan Sheril juga. Hampir tidak ada waktu untuk kami saling membenci dengan kedekatan yang seperti ini.
Setelah memasuki usia dewasa, kami menjadi sering membicarakan hal ini. Masa depan, pernikahan, laki-laki, pekerjaan, tapi kami tidak pernah usil menanyakan saldo rekening sisa berapa?
Kami selalu pergi berbelanja bersama ke supermarket, untuk cemilan malam minggu. Atau kadang, kami membeli makanan cepat saji. Aku lebih suka pilihan kedua, sebab pilihan pertama hanya akan merepotkanku. Aku tuan rumahnya, aku yang memasaknya, dan mereka yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Menyebalkan. Tapi aku tetap sayang.
"Al, ngomongin HRD Xian Techno, mending sekarang lo ambil scrub plus masker. Malam minggu kawan, nggak kencan mending kita maskeran!" ucap Anna, menaruh ponsel yang sedari tadi berada dalam genggamannya.
"Teman jombloku merepotkan," lirihku kesal, mau tidak mau aku bangkit untuk mengambil beberapa masker.
Bunyi derit kayu tua dari tangga yang baru aku tuturuni beberapa, tenggelam dalam tawa teman-temanku di atas sana. Entah apa yang mereka lakukan, sampai tertawa sekeras itu. Beberapa detik setelahnya, perhatianku teralihkan. Mengambil ponselku yang bergetar dalam saku jaket abu yang aku kenakan, aku melihat ada pesan masuk di sana.
Ya, jaket abu ini adalah salah satu koleksi kesayanganku. Meski sudah tampak lusuh, entah kenapa aku selalu merasa keren saat mengenakannya.
Mataku mengerjap, menyesuaikan cahaya dari ponsel yang baru menyala. Aku menurunkan laju jalanku pada pijakan anak tangga.
Pak Malik
[Saya berniat menghubungimu lebih dulu, karena ada hal yang harus saya bicarakan.]
[Jadi, saya harap besok kamu menepati janji untuk menemui saya.]Alice
[Oke!]
[Pukul tiga, di Kafe Pandora]Pak Malik
[Sekalian cheese roll cake? Dan latte double shotnya?]Alice
[Tidak usah.]"Alice! Buru, nggak! Bisa-bisa kita maskerannya subuh?" teriak si Sheril membuat aku mengabaikan pesan terakhir dari si Malik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...