🌾🌾🌾🌾
Pukul dua belas siang, mataku terbeliak lebar, hawa panas mengusikku siang ini. Menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinaku, mataku lekas berpendar menatapi satu persatu sudut ruangan tempat ini. Rasanya pengap, dan selalu begini setiap harinya. Seperti anak buangan yang terpenjara dalam ruangan yang menjadi tempatku terlelap, menangis, merindu, dan mengadu.
Mengambil ponsel yang tersimpan di samping tempatku tertidur, dengan ragu aku melihat kontak laki-laki Bernama Malik kemarin. Wajahnya memang tampan, seperti keturunan Chinese, tapi kenapa namanya malik?
Oke, itu bukan urusanku!
Aku tidak punya waktu untuk menyukai seorang lelaki. Meski bapak sering bertanya, ke mana laki-laki yang akan aku kenalkan padanya, aku tidak peduli. Untuk sekarang, aku hanya ingin menata hidupku yang sudah terlanjur berantakan, namun lagi-lagi aku tidak tau harus memulainya dari mana.
Aku lihat bapak masih tertidur setelah meminum obatnya pagi tadi. Begitupun ibu yang sudah pergi mengurusi toko kainnya. Kemudian pandanganku jatuh, menatapi sebuah kaleng berbentuk tabung yang sudah ku tulisi sesuatu di luarnya. Aku tersenyum pelik, mengingat ucapan bapak semalam. Aku tau, kondisi kesehatan bapak memang memburuk, tapi sebagai seorang accounting di toko kain yang dirintisnya bersama ibu, bapak tetap bekerja di rumah.
Aku tau, seharusnya aku ikut membantu ibu. Sebenarnya sudah pernah, dan tidak ada yang membuatku nyaman. Akhirnya, aku hanya diam di rumah sibuk membuat sebuah cerita fiksi. Meski tidak seberapa, aku nyaman melakukannya. Aku bahagia. Meski awalnya aku menulis karena aku merasa lebih senang dan tenang.
Meski begitu, meski aku sudah melakukan sesuatu yang aku anggap tidak terlalu memalukan, aku tetap dipandang tidak berguna. Aku tidak tau nilai berharga di mata orang lain itu bagaimana. Sebab yang aku tau tentang hidup hanya satu, tidak selamanya waktu akan berputar untukku. Aku hidup dan terjebak dalam perasaan tadi
Kemudian, setelah lama mengadu nasib pada Tuhan, aku lekas mengganti pakaian. Meski pengangguran yang tidak mempunyai gaji UMR, aku suka pergi ke kafe untuk membeli kopi di coffee shop pandora. Sebagian waktuku habis hanya untuk bersantai di sana, atau di taman lindung pinggiran ibu kota.
Aku tidak berharap banyak, aku hanya berharap kalau lelaki yang ku panggil Jamal--padahal nama aslinya Malik, tidak mengunjungi kafe hari ini.
"Sara, Bapak tidur?" tanyaku pada Sara yang sibuk melipat celana jeansku yang kebesaran.
Dia adik pertamaku, anak kelas dua smp yang menjadi primadona di sekolahnya.
"Iya, tadi habis makan dan minum obat bapak tidur lagi."
"Adikmu, ke mana? Main?"
Dia mengangguk sebagai jawaban, tangan dan matanya sibuk pada pakaian yang hendak dia lipat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...