"Kak Malik! Mana Kak Alice! Kak Malik nyulik Kak Alice, ya!" Aku lekas menjauhkan ponsel dari telingaku.
Siapa lagi pengganggu di hidupku kalau bukan si Aruni. Ya, dia tahu Alice bersamaku. Bukan hanya Alice, ibunya, bahkan Anna dan kedua temannya juga tahu kalau Alice bersamaku. Aku meminta pada mereka untuk tidak terlalu mengkhawatirkan gadis itu. Aku yang menjamin segalanya.
"Sembarangan! Tenang, Kak Alice aman sama Kakak. Bilang sama Bunda sama Papah Xian juga."
Di sebrang sana, aku mendengar helaan napas panjang dari Aruni.
"Tapi, kenapa ponsel Kak Alice mati! Runi pengen lihat langsung baik-baiknya Kak Alice!" seru gadis itu malah semakin membuat telingaku sakit.
"Kamu jangan bodoh, Runi, beri waktu Alice untuk sendiri dulu. Mungkin, dia butuh waktu lebih banyak untuk pulih. Jangan ganggu dia dengan kekhawatiranmu," ucapku akhirnya membuat Aruni sedikit lebih tenang.
"Oke, paham. Tapi, kabarin Aruni first time, kalau Kak Alice udah baik-baik saja, oke?"
"Iya, oke. Kakak janji." Hanya itu yang perlu aku ucapkan untuk menenangkan adikku.
"Aruni, sudah dulu, ya. Kakak mau lihat Kak Alice."
"Ahhh, irinya bisa bareng Kak Alice!"
Tanpa basa basi, aku lekas mengakhiri panggilan kami. Memang merepotkan berurusan dengan gadis labil satu itu.
Mengaitkan satu kancing yang terlepas, aku lekas bangkit dari tempat tidurku. Membiarkan rambutku yang masih basah, dan berjalan menghampiri Alice.
Kami masuk ke dalam ruangan, setelah di rasa dingin di luar sana terasa menggigit kehangatan di antara kami. Aku tahu, Alice tidak terlalu menyukai udara dingin. Sebab itu mengingatkan hari di mana Alice kehilangan Mahes.
Di ruangan yang sepi ini, aku berniat turun dan mengajak Alice untuk makan malam. Dari atas sini, aku mencium bau masakan. Derit kayu menjadi suara pengantar langkah antara aku yang penasaran.
Aku kira, Bi Susi yang sedang memasak di saat waktu kerjanya sudah selesai. Namun, dari sini aku melihat bagaimana rambut Alice yang diikat setengah dengan appron yang tidak dia ikat belakangnya.
Sungguh, aku tidak akan pernah berhenti mengucap kalimat pujian untuk keindahan Tuhan yang satu ini.
"Hey, sedang apa?" Gadis itu tidak berbalik, sampai akhirnya aku berinisiatif menyentuh sedikit lengannya.
"Bisa aku bantu ikatkan appronnya Nona?"
Gadis itu terhenyak dengan gerakan tiba-tiba yang aku buat.
"Kak Malik!" seruku tertawa melihatnya.
"Saya udah manggil kamu dari jauh, tahu!" protesku membuat Alice kembali pada penggorengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...