18 • Wish List

106 44 0
                                    

🌾🌾🌾🌾

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌾🌾🌾🌾

Setelah mengatur alarm pukul lima pagi, aku mengambil buku catatanku. Tersimpan rapi di rak kecil dekat lampu tidur, tepat di samping poto kelulusanku dengan Bapak.

Sebenarnya, aku masih belum percaya, kalau aku akan mendapatkan pekerjaan semudah ini. Oke, tidak benar-benar mudah setelah lama aku kepayahan menaruh selembar kertas lamaran pekerjaan. Tapi, Malik mempermudah segalanya.

Ya, berkat lelaki itu. Lelaki yang selalu bersikap baik, manis, kalau Aku boleh tidak tau diri, Malik bukannya menyukaiku, ya?

Aku lekas menggeleng pelan, mengusir Malik dari pikiranku. Aneh, akhir-akhir ini, orang tampan itu seolah sedang menjajah pikiranku. Penuh, pikiranku, bahkan sesekali jantungku berdebar kencang hanya karena kedua mataku berhasil menenggelamkan senyuman Malik, di dalam sana.

Pemandangan yang ku tangkap dalam rana kameraku rasanya tidak pernah seindah, dan semanis itu.

Shit!

Apa aku benar sudah jatuh cinta padanya?

Tidak! Jangan! Itu hanya akan menyulitkanku pada akhirnya.

Kemudian, aku kembali fokus, menulis judul dalam lembaran kesekian buku usang yang selalu menemani keseharianku. Pada buku yang sebelumnya aku tulisi kisahku dan Malik, setiap kali bertemu di Pandora.

Sudahlah, kali ini, aku tidak ingin melewatkan kesempatan untuk membahagiakan orang tuaku. Meski terlihat materialistis, karena aku menulis ini setelah menandatangi kontrak kerja di tempat Malik.

Astaga, kenapa otakku kembali pada Malik dan Malik lagi?

Setelah menulis dua kalimat dalam kertas kekuningan ini, aku tersenyum kecil. Cantik sekali, biasanya aku hanya menulis resolusi setiap akhir tahun. Tapi, dua kata ini berhasil membuat mataku memanas, wish list.

Daftar keinginan, rencana yang sudah aku siapkan untuk bapak dan ibu, ah, untuk kedua adikku juga, rencana untuk nanti ke depannya.

Kalau di pikir-pikir, umur dua puluh dua tahun baru memulai hal seperti ini, bukannya sudah sangat terlambat, ya? Aku suka menulis, namun karyaku masih sebatas cukup untuk diminati beberapa orang tertentu. Wajar saja, aku masih belajar. Kalau masih banyak salah setelah banyak belajar, aku harus berintropeksi diri, bukan? Apa yang kurang dari aku.

Lama aku lamuni, pada akhirnya aku tidak menemukan jawaban apa pun. Yang ada, aku mendengar suara napas bapak yang terdengar berantakan lagi. Menutup buku ini, aku lekas pergi keluar, jujur saja. Aku takut.

Takut ditinggalkan. Padahal aku belum sempat membahagiakan.

"Pak, kenapa?" tanyaku, melihat bagaimana Bapak berbaring tidak nyaman di atas kasur yang sudah Ibu ampar di ruang tengah. Bapak suka menonton televisi, berdua denganku menonron ftv siang hari, saat aku tidak pergi ke kafe pandora. Aku sering menghabiskan waktu dengan menonton ftv, lalu berakhir dengan bapak yang meledekku, katanya kapan akan membawa pacar ke rumah?

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang