50 • Bumi di mana Hujan Tidak Pernah Turun

75 27 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

...............

Rasa kantuk bukan lagi musuh terbesarku, aku ingin menjerit sekeras-kerasnya. Tapi, dihadapan ku sudah ada setumpuk pekerjaan. Padahal, aku ingin beristirahat, sehari saja.

Aku ingin mereda sejenak sakit di kepalaku ini. Tidak, aku tidak ingin tidur di rumah. Di sana ada ibu, pagi tadi dia memarahiku seraya bertanya apa hubunganku dengan Malik. Sudah aku jelaskan sejelas-jelasnya, ibu malah membuatku semakin sakit kepala dengan ucapannya yang terdengar menyepelekan aku, anaknya sendiri.

"Kenapa, Al?" tanya Septian yang baru datang dengan berkas di tangannya, sengaja pamer habis bertemu dengan Malik.

"Minum dulu, kopi kalengan emang nggak seenak kopi seduhan biasa. Tapi, wajib dicoba," katanya seraya menyodorkan satu kaleng kopi untukku.

"Makasih, Kak Tian. Habis dari kantor Malik, ya?" Dia mengangguk menjawab pertanyaanku.

"Kopi kayaknya nggak cukup, ya? Datanya sudah kamu bereskan? Keluar sebentar, yuk?" ajak Septian, dan aku tidak ada alasan untuk menolak.

"Boleh," jawabku kemudian mengekori Septian yang berjalan lebih dulu.

Aku mengikutinya tanpa protes sedikit pun, karena aku tahu tempat yang Septian tuju. Taman di belakang mushalla.

"Tempat rahasia Kak Malik sama Kak Tian," lirihku kemudian mengikuti Septian yang sudah lebih dulu duduk di bangku yang baru dicat hijau.

"Kemarin dia beli Iqra, saya sempet kira Malik main-main sama kamu. Meski nggak mungkin, karena dari dulu Malik itu paling anti wanita. Doa si gila kerja yang lebih sering menyibukkan diri dengan berkasnya daripada dengan wanita."

Aku mendengarkan kalimat yang Septian katakan, menelisik setiap kata yang dia beritakan untukku.

"Baca Iqra?"

"Iya, dia sudah mulai belajar mengaji, dan saya gurunya. Hitung-hitung nabung pahala, iya, nggak?" Aku tertawa mendengarnya.

Meski jauh di dalam hatiku aku berdebar tidak karu, karena Malik ternyata punya tekad yang tidak ada duanya. Dia terlalu gigih.

"Saran saya, kamu bisa menerima Malik dan mengabaikan Aca. Saya kalau jadi kamu juga ingin merobek mulut Aca, dan gadis gila yang menyebut dirinya dengan berani sebagai temanmu. Saya mengerti, muka pucat pasi dan mata kurang tidur itu berasal dari mana. Tapi, saya cuma mau bilang, kamu hebat karena sudah berani melawan akar rasa takutmu, nggak semua orang seberani itu."

Aku juga tidak mungkin berani kalau tidak ada Malik di sana.

"Jadi, saya tebak kamu pasti menangis semalaman, kan? Nggak apa-apa, menangis tidak membuat kamu terlihat lemah. Terkadang, kita memang butuh menangis untuk ketenangan kita sendiri."

"Alice beruntung banget setelah kenal Malik, banyak orang-orang baik yang mengelilingi Alice ternyata," ucapku kemudian meneguk kopi pemberian Septian.

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang