Aku tidak tahu apa yang salah denganku hari ini, aku yang biasanya cepat tanggap untuk belajar sesuatu hal yang baru, hari ini aku tidak tau apa yang harus aku kerjakan. Aku menghela napas panjang, melihat tanganku yang terluka setelah menjatuhkan gelas, dan belingnya melukai lenganku.Dalam langkah gontai yang aku ambil, aku melihat bagaimana manusia-manusia pencari nafkah di sini sibuk melangkah pulang. Aku sedang menunggu, sampai lobi kosong. Karena bosan, aku mengambil ponselku.
Dadaku berdesir hebat, satu notifikasi yang datang dari ponselku membuat aku lekas meninggalkan ruangan ini. Air mata mulai terbendung parah, membuat mataku menjadi tambah buram karenanya.
"Anna, lo bilang apa?" ucapku menghubungi Anna, setelah membaca pesan darinya.
Berjalan tergesa membelah manusia yang juga sama-sama ingin cepat pulang, dadaku terasa semakin sakit setelah berdesak-desakan dengan mereka.
Tolong, apa mereka tidak bisa menyingkir sebentar saja? Lalu, tanpa peringatan, satu tangan menyeret aku ketepian. Malik melihatnya, melihat aku yang terjebak dalam arus manusia yang memenuhi lobi lantai pertama.
"Kamu kenapa?" tanya Malik, tapi aku abaikan.
Aku hanya ingin mendengar kalau Anna berbohong.
"Om Kusuma, Al. Tadi nggak sadarin diri, Ibu kamu tadi mau bawa Om Kusuma keluar, tapi mendadak Bapak kamu nggak sadarin diri. Dia dijemput ambulance siang tadi," ucap Anna terdengar bergetar.
Lemas, tubuhku tidak benar-benar ambruk setelah Malik menahanku.
"Bapak, Kak Malik, Bapak--"
Tanpa mau mendengar ucapanku, Malik mengambil ponsel yang juga hampir jatuh dalam genggaman tanganku.
"Anna, ada apa?" tanya Malik setelah menlihat ponselku yang masuh tersambung dengan gadis itu.
"Rumah sakit mana?" tanya Malik setelah mendengar jawaban dari Anna.
Setelah mendengar kalimat oke, Malik menenggalamkan aku dalam sorot mata tenangnya.
"Hey! Everything will be okay. Percaya, Bapak kamu adalah orang kuat yang pernah saya kenal," ucap Malik membuat tangisku makin bertambah kencang.
"Kamu bisa jalan? Saya antar kamu, ketemu Bapak."
Tanpa mendengar jawabanku, Malik membawaku berjalan dengan tenang. Dalam langkah lunglai, nyawaku rasanya ikut mengawan mendengar kabar buruk seperti tadi.
Dalam perjalanan, aku terus membuang muka sembari menyeka air mata yang terus keluar dari tempatnya. Aku terus memperingati diri untuk tidak menangis di hadapan bapak. Malik juga tidak banyak bicara, mungkin dia bisa membaca betapa khawatir dan takutnya aku. sampai di pelataran rumah sakit, aku malah tidak ingin menemui bapak. Aku tidak mau percaya, sebab pagi tadi, bapak masih berbincang hangat denganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...