79 • Sweet Home

85 26 0
                                    

Dalam langkah hening yang aku ambil, aku kembali pada peraduan masa laluku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dalam langkah hening yang aku ambil, aku kembali pada peraduan masa laluku. Tempat hangat, di mana salah satu penghuninya sudah mati. Aku tatap tidak berani pintu yang tertutup rapat, seolah rumah ini tidak berpenghuni. Belum masuk saja dadaku sudah sesak, air mataku sudah jatuh terurai lagi.

Kalau dipikir-pikir, aku yang salah dan egois selama ini. Ibu keras padaku karena aku kurang berusaha, aku memang sudah berusaha, tapi tidak semaksimal yang ibu harapkan. Aku tidak berharap banyak, saat aku masuk nanti, aku harap ibu tidak akan memarahiku. Aku harap, ibu akan memelukku dan mengatakan hal yang ingin aku dengar selama ini.

Aku memang salah, karena selalu bermalas-malasan dan semaunya, tapi aku ingin ibu mengerti, kalau manusia juga bisa lelah. Kalau aku terus-terusan berjuang sedangkan harapan kosong yang terus menjumpaiku di ujung perjuangan, seharusnya ibu paham, yang aku inginkan sebenarnya hanya satu. Istirahat, untuk menyambut hari esok yang lebih baik.

Kemudian, satu tangan terulur menyentuh pundakku, dia tersenyum dengan raut wajahnya yang selalu berhasil mencuri detakku berkali-kali.

"Kamu bisa menghadapinya?" Aku mengangguk atas pertanyaan Malik tadi.

Ya, Malik, aku beruntung memilikinya.

Aku pernah mendengar satu kata-kata ini di satu tempat, katanya, hidup bukanlah perlombaan untuk menunjukkan siapa yang terbaik. Tapi, hidup adalah seni memperbaiki diri menjadi orang yang lebih baik. Aku beruntung, sebab di antara banyaknya orang baik itu, aku menemukannya. Atau mungkin, orang baik itu yang menemukanku.

"Harus, aku ke sini untuk menulis kembali kisahku. Aku ke sini untuk memaafkan aku, untuk memaafkan mereka yang menyakitiku, dan bekal untuk aku kuat menjalani hidup. Peran ayah sudah mati di sini, tapi, aku melupakan Ibu dan malah terus marah padanya."

"Sudah, sekarang hapus air matanya dulu. Jangan takut, lihat," ucap Malik mengangkat tangannya naik sampai manik mataku menemukannya.

"Aku akan terus berada di sampingmu. Berlari atau berjalan, terjatuh atau tersandung, aku akan membersamaimu, sampai kamu merasa tidak sendirian lagi."

Aku tersenyum, lihat, aku memang beruntung, bukan? Bukannya aku pengecut, hanya saja, aku ingin memeluk Malik, aku bersyukur amat sangat bersyukur. Tuhan memberikan aku orang baik, untuk berjalan di sampingku.

"Terima kasih," lirihku terisak dalam pelukannya.

Sejenak, aku membiarkan pintunya tertutup, tidak aku buka lebih dulu, sebab aku hanya ingin mencari tenang lebih banyak di sini. Dalam aroma tubuh Malik yang membuatku tenggelam dalam rasa nyaman.

"Aku percaya, Tuhan itu baik. Makanya dia mengirimmu di sisiku. Agar aku tidak kehilangan arah lagi, agar aku tidak melakukan hal bodoh lagi. Kamu tahu? Aku kira aku akan menderita dan mati sia-sia. Tapi, berkat kamu aku tahu apa itu artinya dicintai dan mecintai. Aku tahu, bagaimana cara agar aku lebih bahagia dan banyak bersyukur. Lebih daripada itu, aku jadi tau bagaimana cara aku mencintai diriku. Terima kasih, Malik, terima kasih."

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang