.............................
Aku masih di sini, semenjak Alice memutuskan untuk pergi. Ya, boleh dikatakan aku pecundang. Tapi, aku tahu gadis itu sedang butuh tenang sekarang. Aku tidak mau mengacaukan Alice lebih banyak lagi. Dia terlihat kacau sejak Aca memicu trauma di masa lalunya.
Aku merasa sedikit bersalah, tidak, sebenarnya itu bukan hanya sedikit. Aku merasa sangat bersalah. Padahal, niat awalku adalah melihat Alice kembali menjadi sebahagia dulu.
Apa aku juga sudah salah jalan sejak awal?
Padahal kalau Alice menyadari sesuatu dia tidak akan mungkin pergi, membiarkan aku memandangi punggung kecilnya dari jauh. Dia mungkin masih merasa tidak layak dicintai, padahal dia tidak tahu, banyak sekali orang yang akan jatuh cinta semudah aku pada sosoknya.
Dia mungkin masih berpikir tidak ada yang mau berteman dengannya, padahal ada banyak sekali alasan untuk menjadi teman baiknya seorang Alice Keinnara. Dia juga mungkin tidak tahu, kalau punggung kecilnya itu menjadi sumber harapan, dan hal-hal baik bagi orang lain. Sampai hari ini, Alice belum menyadarinya.
Melihat bagaimana bajuku basah, saat aku mencoba mencegah Alice yang menerobos hujan, Alice mengabaikan payung yang aku beri untuknya.
Menghela napas beberapa kali, aku menumpu kepala pada setir kemudi. Memikirkan bagaimana caranya memiliki Alice tanpa melukainya sedikitpun. Iya, apa aku harus menyingkirkan Aca? Tidak! Aku memang ambisius, dan menghalalkan segara cara untuk mendapatkan apa yang aku inginkan.
Tapi, tidak mudah mewujudkan bagaimana cara menyingkirkan Aca. Apa aku jodohkan saja dengan Septian? Tentu saja tidak! Aca suka uang, dan uangku lebih banyak daripada Septian. Ini bukan bentuk kesombongan, ini hanya kebenaran yang aku ucapkan.
Lantas bagaimana caranya?
Sampai akhirnya bunyi ketukan di kaca mobil, membuat rencanaku buyar seketika. Dari balik jendela, aku melihat seorang perempuan dengan rambut hitam sepinggangnya.
"Hallo Kak, maaf mengganggu. Jangan buang sampah sembarangan, ya. Saya menemukan sepotong mentega ini di sisi lain mobil anda."
Aku mengambil sepotong mentega itu dari tangannya, ini milik Alice. Dia pasti akan tambah menangis karena sekarang dia kehilangan menteganya.
"Sepertinya terjatuh," ucapku tanpa sadar tersenyum, dan ingin menemui Alice sembari membawa sepotong mentega ini padanya.
Tapi, aku takut beralasan untuk menemuinya.
"Iya, makanya saya ambil," tambah gadis itu masih berpikir kalau aku sengaja menjatuhkan sepotong mentega ini.
"Saya tidak membuangnya, ini milik gadis yang tadi berlari menerobos hujan. Alice mungkin akan menangis sekarang." Kalimat terakhir ini tanpa sengaja aku ucapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...