57 • Waktu Untuk Berduka.

77 27 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

..............................

Sesuai peraturan dari perusahaan, aku mendapat cuti 7 hari untuk berduka. Mataku bukan lagi sembab, tapi nyaris hilang tinggal segaris. Di atas sejadah, aku menatap langit-langit kamarku yang gelap. Sepi, sunyi, tidak ada deru napas berantakan yang biasa aku dengar.

Lalu, aku menangis lagi. Aku menutup mata, tidak mau membuka pintu yang diketuk dari luar sana.

"Alice, ada Malik."

Aku tidak peduli, tadi pagi Anna mengunjungiku. Sheril dan Ririn juga melakukan hal yang sama. Namun, aku tidak mau bertemu dengan siapa-siapa dulu. Bukan karena mata sembabku, tapi biarkan aku tenang lebih dulu.

Lalu, ruangan ini kembali sepi. Samar-samar aku mendengar suara di luar sana. Entah, aku tidak terlalu peduli. Pikiranku saat ini lebih berisik daripada biasanya.

Mengambil ponsel yang mati, aku tidak melihat ada motif dari siapa pun. Iya, aku sedang tidak ingin berinteraksi dengan manusia manapun. Termasuk Malik.

Sebenarnya, saat Malik berada di Shanghai hari lalu, seseorang mengirimi aku foto. Dia memeluk Aca. Tapi, aku tidak akan mempermasalahkannya. Sebab,.aku berniat meninggalkan Malik.

Ya, itu adalah pilihan yang terbaik.

Bapak salah, tidak akan ada yang bisa menggantikan tempatnya. Hadiah kecil? Apa begusnya, dia menuskku dengan belati yang dia sembunyikan di belakang tangannya.

"Ah, sunyi sekali." Aku bergumam, kemudian menghapus air mata yang keluar sepanjang malam. Sakit, dadaku masih sakit. Aku tidak terima, kemudian aku menjadi sangat marah. Karena aku tidak mau melukai siapa pun dengan amarahku, aku mengurung diri di sini.

Semakin lama aku menggulir isi kameraku, aku menemukan satu foto di mana bapak tertawa lepas di sana. Ini adalah foto kami dua tahun yang lalu, saat kami berada di ladang kakek. Aku mengingat secantik apa Lilac ungu yang bermekaran di sana.

Ya Tuhan kapan air mata ini berhenti keluar? Apa kesedihanku akan menahan bapak untuk pergi ke tempat yang lebih baik? Tidak, jangan sampai. Tapi ketahuilah, aku benar-benar tidak sanggup untuk berpura-pura kuat sekalipun. Ini terlalu menyedihkan, seolah bagian dari aku ikut pergi, hilang direnggut paksa untuk mengikhlaskan.

Aku menepuk dadaku, ponselku terjatuh lalu mati. Dari segala hal yang menyakitkan, bagian kehilangan adalah hal paling memuakkan. Dia menyiksaku dengan kenangan-kenangan di masa lalu yang tidak akan terulang, dia mengacaukan ku dengan kerinduan-kerinduan yang tidak akan pernah terbayarkan.

Lelah. Aku lelah. Menangis tanpa suara selalu membuat dadaku sesak bukan kepalang. Tapi, aku tidak mau di cap lemah dengan orang Lain yang mendengar tangisku. Cukup hari lalu, aku menangis hebat di hadapan banyak orang. Aku tidak bisa menahannya.

Kemudian, setelah lama menangis, mataku memberat. Panas merambat dari mata sampai ke ruang dada, sesak sekali Ya Tuhan. Tapi, setelah dua hari terakhir tidak bisa tidur, Tuhan memberiku rasa lelah, sehingga aku bisa beristirahat dan tidur.

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang