4 • Aku, Harapan, dan Mimpi yang Patah

215 55 11
                                    

🌾🌾🌾🌾

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


🌾🌾🌾🌾

Mengatur napas yang tercekat di ujung tenggerokanku, aku membawa secangkir teh hangat untuk Bapak. Aku tidak boleh terlihat sedih, apalagi terlihat tidak bersemangat di depan Bapak.

"Bapak nggak bisa tidur lagi, ya? Pekerjaan Bapak udah Alice handle tadi, atasan Bapak juga bilang oke. Bapak nggak niat resign aja?" tanyaku menahan sesak luar biasa, aku lihat tubuh bapak yang dulu tambun kini berangsur menciut.

Tubuh bapak ikut mengecil digerogoti penyakit. Sedangkan beliau mulai tertawa mendengar kalimatku yang terdengar konyol. Atasan bapak yang aku maksud adalah ibuku sendiri, makanya bapak mentertawakanku.

"Terima kasih, Nak. Kalau kondisi bapak nggak membaik, bapak niatnya mau resign. Tapi, bapak nggak apa-apa, bapak cuma capek. Ada untungnya, kan, bapak sakit? Bapak jadi bisa nemenin Alice yang nggak bisa tidur."

Semenjak lulus sekolah, bahkan sedari aku masih sekolah, jam tidurku sudah berantakan. Seberantakan hati yang tidak mampu menggapai mimpi, demi masa depan orang lain, aku merelakan mimpiku. Bapak tertawa samar melihatku yang selalu cemberut, setiap waktu.

"Kita sama-sama sakit, Nak. Namun, sakit kamu lebih parah daripada bapak. Alice tau, nggak? Hidup kamu itu terlihat santai, terlihat tidak sedang mengejar apa pun, tapi bapak tau, ada banyak hal yang kamu mau dalam dirimu, kan?" Aku menghela napas pelan, melebur sesak dalam diri yang tak kunjung mereda setiap kali bicara bersama bapak.

"Aih, kenapa tiba-tiba bahas aku? Bapak belum minum obat, ya?" Sebisa mungkin, aku berusaha mencairkan suasana, meski inginnya aku menangis sekarang ini.

Namun, lagi-lagi bapak tersenyum mendengar pertanyaanku.

"Biar bapak bertanya lagi, sekarang apa keinginanmu? Sudah dua puluh satu tahun, Alice. Kamu itu tumbuh banyak dengan rasa malas, dan ego yang tinggi. Tapi apa kamu benar-benar tidak ingin mencapai sesuatu?"

Sebenarnya, bukan tidak ingin. Namun, aku memilih kalah tanpa pernah berperang.

Ya, aku seorang pengecut yang memilih menyerah dengan mimpi-mimpiku. Lalu berakhir dengan menyalahkan keadaan.

Aku pecundang.

"Bapak tahu nggak, sih, darimana asal usul Alice yang ingin jadi Jurnalis?" Namun hari ini, aku ingin sedikit bercerita dengan bapak. Karena Kusuma adalah tempatku bercerita, kadang menjadi teman bercanda, kadang menjadi musuh perang dingin antara isi pikiran anak yang tidak tahu harus bagaimana, dan seorang bapak yang mengkhawatirkan masa depan anaknya.

"Bapak bahkan nggak pernah tahu, kalau kamu mau jadi Jurnalis," balas bapak melekukkan sudut bibir pucatnya.

"Oh iya, Alice emang nggak pernah bilang sama siapa-siapa. Habisnya kalau Alice bilang, nanti Bapak kerjanya dua kali lebih capek, demi mimpi Alice dan kebutuhan adik-adik Alice. Karena Bapak paling tahu, kalau Alice sudah ada mau itu kudu terlaksana. Kalau nggak, Alice pasti cemberutin Bapak. Untungnya, waktu itu Alice lagi waras, Pak. Alice nggak mau lihat Bapak susah gara-gara Alice lagi." Rasanya lega, setelah aku membagi ceritaku dengan bapak

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang