Dalam balutan dress hitam sebawah lutut berlengan panjang, Alice menemani aku pergi kali ini. Ya, aku mendengarkan usulan bunda. Biarlah Allen Xian menganggap cuti kali ini sebagai cuti aku menikah dengan Alice. Meski itu adalah sebuah keinginan yang masih aku langitkan pagi siang sore dan malam. Setiap waktu, dalam lima waktuku.Awalnya, aku ragu untuk mengajak Alice, sebab baginya, Aca adalah bagian dari lukanya juga. Aku tidak mau memberati Alice lagi, tapi setelah aku mengatakan Aca akan pergi ke luar negeri untuk waktu yang cukup lama Alice akhirnya mau. Dia bilang ada yang mau dia katakan pada gadis itu.
"Kamu serius mau menemui Aca? Aku tidak memaksa, kalau kamu tidak bisa biar aku agar kamu pulang biar aku temui Aca sendiri," ucapku mendapat jawaban gelengan pelan dari Alice.
"Tidak apa-apa, kan, ada Kak Malik. Alice yakin, Aca juga sudah berubah, setidaknya sedikit," kata Alice terdengar tidak mau berburuk sangka lagi.
"Aku berjanji hanya sebentar, aku hanya ingin mengatakan beberapa hal yang belum pernah aku sampaikan padanya. Dan juga—" aku berhenti bicara saat Alice dengan berani merangkul lenganku.
"Tidak apa-apa, santai saja. Bicara senyumannya, jangan pikirkan aku. Aku baik-baik saja," ujar Alice seolah meyakinkanku.
"Baiklah, setelah ini aku akan memberi hadiah untukmu. Aku berjanji, tidak ada sesi menyakiti lagi, oke?" Alice mengangguk diiringi tawa renyah.
"Iya, Kak Malik. Tidak perlu di iming-imingi hadiah apa pun. Karena Alice juga ingin menyampaikan salam perpisahan untuk Aca, meski kesan buruk yang dia berikan padaku dulu sempat membuat kita jauh."
Ternyata benar. Ada manusia yang mudah memaafkan, tapi tidak untuk melupakan. Butuh waktu lama. Memaafkan hanya formalitas, bagian lain dari proses menerima segala yang pernah terjadi di masa lalu. Menerima permintaan maaf dari seseorang yang pernah melukai kita, sama dengan menerima kesalahan yang pernah terjadi dia lakukan pada kita.
Lalu, di meja makan yang sudah di duduki seorang gadis anggun Alice meremat lenganku erat sekali. Dalam rematan lengan Alice yang kian mengencang, aku menumpu satu tangan lainnya untuk mengusapi punggung lengannya yang mendingin, seraya melayangkan satu senyum hangat untuknya.
"It's okay," ucapku akhirnya membuat Alice lebih tenang daripada sebelumnya.
Kemudian, kami duduk menghadap Aca setelah dia melambaikan tangannya. Sorot matanya terlihat lebih damai daripada sebelumnya.
"Apa kabar, Malik?" Basa basi pertama di mulai dengan saling melontarkan kabar.
"Tentu saja, sangat baik."
"Hai, Alice, lama nggak ketemu," sapa Aca akhirnya mendapat satu respon cukup baik dari Alice.
Di bawah meja, lengan Alice betulam sedingin es.
"Gue turut berduka cita, ya. Kabar Lo baik, kan?"
Lama sekali pertanyaan Aca dibiarkan mengambang tanpa jawaban, akhirnya Alice memberanikan diri untuk menatap lawan bicaranya.
"Terima kasih, iya, lebih baik daripada hari lalu."
Sebenarnya, aku takut Aca akan melontarkan kalimat yang bisa membuat Alice putus asa lagi. Namun, sepertinya Aca sedikit berbeda daripada sebelumnya.
"Lo yakin bisa bahagiain Malik, kan? Kalau iya, gue relain dia buat lo. Satu yang pasti, bahagia Malik lebih gue perhatikan sekarang. Setidaknya, meski dia nggak bisa bareng sama gue, tolong jaga bahagianya. Karena kebahagiaan Malik juga bahagia buat gue."
Meski terdengar angkuh seperti biasanya, sepertinya Alice mengerti maksud si angkuh satu ini. Dia ingin melepaslanku.
"Dan untuk kejadian di masa lalu, gue cuma bisa minta maaf. Gue tahu, sulit buat lupain hal gila yang udah gue lakuin ke hidup lo, tapi dengan tulus gue ucapin maaf yang sebesar-besarnya buat lo. Gue tahu, gue buta dalam hal mencintai, sampai gue tega bikin lo menderita. Dulu, gue pikir Lo harus mengerti sememderita apa gue, tapi gue tahu gue salah dan bodoh. Karena gue menyiksa diri gue dengan rasa bersalah yang gue punya."
Alice terdiam cukup lama, matanya mengkilat merah. Dia hampir menangis, kemudian dia menenggakkan kepalanya mencegah air matanya turun ke bawah.
"Lo nggak merebut apa pun dari gue, tapi gue berhasil merebut kebahagiaan Malik. Meski takdir punya jalan untuk kembali, sorry for hurting you. Gue cuma pengen tenang sebelum gue pergi."
Lalu, Alice melepas tangannya dariku. Dia mengangkat naik tangannya ke atas, kemudian dengan senyum hangatnya dia berkat, "Alice maafin, jaga diri di mana pun berada. Jadi lebih bahagia juga ya, Kak Aca. Karena Alice yakin, bahagia Kak Aca ada di satu tempat."
Aca tertawa mendengar ucapan Alice, aku kira Aca meledeknya. Tapi, kemudian dia mengatakan kalimat yang tidak pernah aku duga akan keluar dari mulut yang selalu berkata kasar.
"Gue kayaknya paham, kenapa Malik bisa suka sama lo. So, sebagai salam perpisahan, boleh gue peluk lo? Yakinin gue, kalau lo emang udah maafin gue."
Aku tersenyum penuh, ketika Alice membuka lengannya. Dan Aca memeluk Alice hangat, aku bisa merasakan apa yang mereka berdua rasakan. Mengikhlaskan luka, memaafkan diri sendiri, juga saling menerima. Indah sekali.
Sampai akhirnya, Aca melepas pelukannya dan menatapku garang sekali.
"Lo, kalau bikin Alice nangis hadepim gue. Well, gue mau mengakui satu hal, Alice ternyata secantik ini, bagaimana seorang Malik Xian tidak menyukainya?"
Aku berdecih pelan, kemudian tersenyum setelahnya.
"Alice, gue boleh peluk Malik? Meskipun dia calon suami masa depan lo, gue adalah kecil yang dulu Malik jaga. Serius hanya sebagai adik, gue udah merelakan Malik buat lo," ucap Aca membuat Alice bergeming.
Aku pikir tidak apa-apa kalau Alice melarangnya, namun dia mengizinkanku setelah mengangguk menjawab pertanyaan Aca.
"Lima detik cukup, bukan?"
Tidak buang waktu, Aca langsung menyambar dalam pelukanku. Aku hanya menepuk bahunya sebentar kemudian pelukan kami terlepas.
"Sehat selalu, panjang umur, janji bahagia, ya?"
"Off course, yeah. Ada Alice, jadi Lo juga harus menemukan seseorang, oke?"
Aca tersenyum, kemudian menghampiri Alice lagi. Dia memberikan sesuatu pada gadis itu.
"Bukan apa-apa, tapi ini brand cocok banget dipakai pas lo di lamar Malik. Selamat bertemu di lain waktu dalam keadaan yang lebih baik Alice, jangan hilang lagi. Ada orang gila yang selalu menyalahkan gue, karena kehilangan lo, oke?"
Aku tidak menduga, kalau Aca bahkan memberikan sebuah hadiah sebagai salam perpisahan untuk Alice.
Usai sudah, luka yang membutuhkan maaf kini berangsur pulih. Tinggal menunggu waktu sampai akhirnya bisa sembuh.
Kemudian, aku melihat Alice melepas sebuah cincin di jarinya. "Alice nggak siapin hadiah, tapi cincin ini buat Kak Aca. Sederhana, tapi dia punya makna penting buat Alice."
Aca menerimanya. Dan sekali lagi, Aca melebarkan tangannya dan menengelamkan Alice dalam pelukannya.
"Hati-hati di jalan, jaga kesehatan dan jangan lupa buat pulang," ucap Alice dalam pelukan seorang Aca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Não FicçãoIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...