Makan malam yang aku buat menjadi dingin dan tidak tersentuh sama sekali. Sepertinya, aku lama terlelap dalam pelukan Malik. Menangis sampai tertidur membuatku jauh lebih baik sekarang.Mataku berpendar pada ruangan remang yang hanya tersinari cahaya lampu kekuningan, di sudut meja kecil dekat tempat tidurku. Lalu, mataku berhenti pada satu titik di bawah lenganku. Hangat, di sana lengan Malik mengisi setiap celah kosong buku-buku jari tangan pucatku.
Sepertinya, Malik tidak akan meninggalkanku, dia tidak mau lengah. Sejujurnya, sedari dulu yang aku butuhkan adalah ini. Ada orang di sampingku. Tidak apa-apa kalau dia hanya bisa diam, itu lebih aku butuhkan dibanding ibu yang terlalu banyak bicara.
Sepertinya, aku terlalu banyak menangis. Sepertinya, ini adalah efek setelah aku menahan terlalu lama rasa sakit dan penyangkalan atas kehilangan-kehilangan yang menyambutku dalam beberapa lembar kisah kehidupanku.
Aku pikir setelah kehilangan Mahes aku tidak akan kehilangan apa-apa lagi, tapi rupanya, aku kehilangan sosok terhebat dalam hidupku. Aku kehilangannya, lalu duniaku gelap dan hancur seketika.
"Kak Malik, Dokter Catarin pernah bilang, katanya ada lima fase kesedihan." Aku ingin bicara, tidak apa-apa kalau Malik tidak mendengarnya.
Aku tahu, mengurus orang sepertiku pastilah menguras emosi dan perasaan. Aku tahu, bukan hanya aku yang lelah, tapi Malik juga sama.
"Penyangkalan, marah, bargaining, depresi, dan penerimaan. Wah, melewati semua fase itu sangat tidak mudah. Alice pernah menyangkal kepergian Mahes dan menyalahkan diri sendiri. Lalu saat Bapak pergi Alice juga menyangkal kalau hal itu benar terjadi. Karena tidak mungkin secepat itu Bapak pergi. Tapi, ada kutipan yang Alice juga tidak tahu apa jawabannya. Katanya, kenapa orang-orang baik selalu pergi lebih dulu?"
Aku lihat Malik mulai terusik dari tidurnya. Padahal, aku melirihkan kalimat demi kalimat, dengan suara yang nyaris tertelan bisingnya isi kepalaku.
"Lalu, Alice marah. Puncaknya tepat saat Alice mengusir Kak Malik pergi, Alice menyiksa diri Alice lebih parah. Padahal, saat itu Alice butuh sekali satu orang yang bisa berada di samping Alice, tapi Alice mengurung diri di kamar. Alice banyak menangis. Sampai akhirnya, Alice melakukan penawaran dengan diri Alice sendiri."
Kini, mata Malik terbuka, dia tidak menatapku, dia tetap pada posisinya. Menggenggam tanganku, dan matanya jatuh menatap hangatnya lengan yang tertaut. Dia tidak bicara, namun tangannya makin mengerat, satu tautan yang berhasil memelukku dengan hangat juga.
"Alice pernah berpikir, kalau tidak mengusir Kak Malik pergi, mungkin awan kelabu, dan kabur kehitaman yang membutakan mata Alice tidak akan pernah ada. Karena setiap kali bersama dengan Kak Malik, mata Alice selalu melihat-lihat hal indah. Itu membuat Alice tenang untuk beberapa alasan. Alice pernah berpikir, kalau saja Alice tidak mengurung diri, mungkin Alice bisa mengerti perasaan Ibu yang ditinggal kekasihnya, cinta sejatinya untuk selama-lamanya. Alice terlalu egois, bukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...