78 • Surat Rindu

76 26 0
                                    

🌾🌾🌾🌾

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌾🌾🌾🌾

Sebelum berangkat, Malik menyodorkan lima amplop yang tadinya tidak akan aku bawa. Aku akan beralasan lupa, tapi rupanya Malik memang seniat itu membawakan lima amplop itu untuk aku baca.

Awalnya, Malik hendak membawaku melihat bukit. Berjalan-jalan dekat resort keluarganya, tapi aku tolak. Entah kenapa aku merindukan pantai. Aku merindukan kisahku dan Malik di sana.

Sampai akhirnya, Malik menyetujui keinginanku, dua jam menempuh perjalanan, akhirnya kami mengunjungi sebuah restoran ikan bakar. Pantai lumayan jauh dari sini. Akhirnya, kami memutuskan untuk makan, setelah tadi pagi Malik melahap habis soup ayam buatanku.

Sambil menunggu pesananku jadi, aku menatap Malik. Dia juga melakukan hal yang sama.

"Kak Malik juga," ucapku membuat alis Malik terangkat.

"Apa? Saya melakukan kesalahan?"

Aku menggeleng sebagai jawaban.

"Nggak, Kak Malik juga apa boleh setampan ini?"

Dia tertawa kencang sekali, secerah langit siang ini. Jantungku dibuat dua kali lebih berdebar daripada biasanya.

"Oke, terima kasih pujiannya Nona Alice," ucap Malik yang aku balas dengan senyum hangat.

Mata kami masih saling menatap, entah sedang mencari apa. Kalau Malik mencari kesedihanku, aku jawab saja, masih tersisa ada. Namun, kesedihan ini akan aku yakinkan sebagai bagian akhir sebelum aku mengikhlaskan, dan menerima kejadian yang menimpaku.

Aku mencoba untuk mampu, aku sedang mencoba menata kembali kehidupanku.

"Alice, kamu tidak berencana bekerja lagi di perusahaan saya? Ada bagian kosong—"

"Alice mau menulis saja," jawabku memutus pembicaraan Malik.

"Alice mau bercerita tentang seberapa hebatnya Bapak, dan seberapa hebatnya cinta." Alis Malik tertaut mendengar jawabanku.

"Jadi?"

"Saya mau menuliskan kisah tentang cinta pertama dan tulang rusuk anak perempuannya. Alice mau menulis tentang cinta pertama dan cinta sejati seorang perempuan, lebih tepatnya Alice mau bercerita tentang kita."

Kini, aku lebih sedikit percaya diri. Meski mungkin aku perlu banyak belajar, aku pikir menceritakan hal-hal sederhana seperti ini bisa membantuku. Aku tidak mau memendam semuanya sendirian lagi. Karena itu amat sangat melelahkan.

"Kamu mau menulis tentang saya?" Aku berdeham pelan.

"Kita, lebih tepatnya. Bukannya terdengar baik? Alice jadi ada kegiatan lain di rumah."

"Tentu saja, sangat baik. Aku menantikannya, karya seorang Alice Keinnara yang selalu marah-marah ini."

Terdengar seperti sebuah pujian, padahal Malik sebenarnya sedang mengejekku.

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang