🌾🌾🌾🌾
Setelah lama mengulur waktu dengan menghela napas banyak-banyak, akhirnya aku berminat melihat Malik. Menatap seberapa ingin tahunya dia dengan kisahku dulu.
"Alice sering ke sini sama Mahes. Liatin manusia yang sibuk dengan urusannya." Aku memutuskan memulai ceritaku dari sini.
Cerita yang sebenarnya. Sebab, saat berkendara di pasar Raya, aku hanya menceritakan tentang alasan kenapa Mahes tidak berada di sampingku lagi.
"Mahes itu, cinta pertama Alice waktu SMA. Dia anak laki-laki paling badung, tapi entah kenapa dengan bodohnya Alice malah suka sama dia, jatuh cinta katanya emang bodoh, kan? Dan, ya, Alice emang bdoh saat itu. Entah kenapa, semakin lama, Alice malah semakin suka sama si Mahes. dia punya sisi yang nggak orang lain tahu. sebab selain dikenal badung dan brengsek, ternyata Mahes sesayang itu sama Kaira, adik semata wayangnya," ucapku berhasil membuat bibirku meruai tipis.
"Mahes ada di sana," kataku, menatap awan yang berarak naik menuju langit paling tinggi. Menunjuk tempat Mahes berada.
"Mahes mati karena Alice." Tanpa sadar, air mata mulai menggenang di pelupuk mataku.
Hening, kembali dadaku terselimuti kabut kesedihan. Hancur lagi perasaanku, seolah hari kehilangan Mahes baru terjadi kemarin. Untuk beberapa waktu, keadaan menjadi sangat hening. Malik tidak bicara lagi, dia diam—mungkin menunggu aku melanjutkan ceritaku.
"Saat itu Alice sadar, kalau Alice sudah menghancurkan hidup seorang gadis kecil, sekaligus sumber kebahagiaannya." Sialnya, air mata sudah jatuh lebih dulu.
Padahal, aku belum menceritakan siapa aku sebenarnya.
"Maksud kamu?" Lalu kali ini, pertanyaan Malik tidak disambut ramah olehku, meski dia menyodorkam dua lembar kertas tisu untuku.
Aku tidak tersenyum, aku semakin terpaku menatapi langit sore pukul lima yang terpayungi lembayung kejinggaan.
"Empat tahun lalu, saat hujan di bulan juli datang, Alice kehilangan Mahes. Dia mati karena aku," kataku membuat Malik menaut alis tebalnya, seolah tidak mengerti dengan maksud ucapanku.
"Bukannya kamu bilang Mahes kecelakaan?"
Aku mengangguk kecil menanggapi pertanyaan dari Malik.
"Ya, karena aku. Kalau Alice nggak ketemu orang-orang yang dulu nyakitin Alice, kalau aja hari itu Alice pulang lebih awal dari sekolah, mungkin Mahes nggak harus ngebut di jalan buat jemput Alice yang ketakutan. Mungkin Mahes masih ada, duduk di sini nungguin Alice datang. Tapi ini nggak, Alice bahkan lebih pengecut dari yang pernah Kak Malik pikirkan, bahkan Alice nggak ada waktu Mahes di kebumikan."
Kemudian, Malik menatapku. Dia menghela napas berkali-kali, mungkin hendak mengatakan kata penenang untukku.
"Saya boleh peluk kamu?" tanya Malik membuat dadaku berdegup kencang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...