2 • Kesempatan

308 62 0
                                    

🌾🌾🌾🌾

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌾🌾🌾🌾

Dalam sikap tenang yang aku ambil, diam-diam aku menilai mereka satu persatu. Sumpah, salah satu lelaki yang terlihat tenang ini, sangat mencuri perhatianku. Well, dia sangat tampan, tolong! Kenapa aku jadi tidak fokus begini. Dia tampan, aku cantik, oho! Apa Tuhan mengabulkan keinginanku tadi? Soal mencari daun muda kaya raya?

Aku memikirkannya terlalu jauh. Tapi ya Tuhan, kenapa aku terlihat sangat buruk rupa di antara mereka? Ibarat kata, aku adalah kerikil di antara permata.

"Mal, gimana perekrutan karyawan barunya? Ada yang oke nggak ditempatkan di tempat gue, buat gantiin tempat sepupu lo sementara?” tanya laki-laki yang tadi meminta izin untuk duduk bersamaku. 

“Belum ada, perusahaan punya kualifikasi tinggi untuk tempat di office, Sep. Meski cuma kontrak. Tapi kalau buat ganti tempat sepupu gue, masih bisa gue cari,” jawab laki-laki yang tadi sibuk mengurusi ponselnya, kini mencuri pandangan padaku.

Untungnya, aku punya refleks yang bagus.


Dia duduk manis menatapi temannya, kemudian pandangannya berhenti dan menatapku. “Ah, maaf kalau membuatmu tidak nyaman.” 

It’s okay,” jawabku gugup, dia tampan. Wajahnya seperti campuran, aku yakin seratus persen dia keturunan Chinese

“Beberapa cuma ke rekrut untuk bagian produksi, untuk bagian manajer pemasaran, dan pengawas departemen produksi masih kosong. Perusahaan cari yang berpengalaman, apalagi di manajer pemasaran, minimal punya sertifikat pengalaman kerja dua tahun, S1 lulusan bisnis dan management.” Si laki-laki yang dipanggil Mal oleh temannya ini, berucap lagi.

Di luar memang sedang hujan, pun di dalam sini cukup dingin. Tapi kenapa hanya aku yang merasa kepanasan, merasa tersindir mendengar pembicaraan mereka? 

Fresh Graduate banyak, tapi lowongan kerjanya yang sedikit. Gila aja lo, Mal! Cari yang berpengalaman terus, tau, sih, demi kebaikan perusahaan. Tapi kalau begitu, bukannya kasihan yang baru lulus, ya? Nggak dikasih peluang, atau kesempatan buat icipin jam kerja?” timpal si laki-laki yang dipanggil Sep tadi, refleks membuat aku menganggukkan kepala pelan. 

“Betul!” Sampai tanpa sadar suara yang ku ucapkan dalam hati ikut bocor, ikut campur ke dalam permbicaraan mereka. 

“Eh, maaf, bukan nggak sopan saya cuma terprovokasi aja sama ucapan masnya, kebetulan saya pengangguran.” Aku mengutuk diriku sendiri, bagaimana mungkin dengan pakaian lusuh begini aku mengucapkan kalimat menyedihkan tadi? 

“Ah, nggak apa-apa, santai aja,” sahut si laki-laki bernama Sep tadi. 

“Ngomong-ngomong, Teteh baru lulus sekolah?” Aku menggeleng menjawab pertanyaan tadi. Ini ibu kota, banyak pendatang yang menetap untuk mencari kerja. Mungkin si Sep, Sep ini juga salah satu pendatang. 

Paranoia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang