🌾🌾🌾🌾
Sebenarnya, pakaianku tidak jauh berbeda dengan hari kemarin. Namun, tumpukan pakaianku hanya berisi, kaos, kemeja polos, dan flanel merajai isi lemariku. Aku jarang mengoleksi dress--well ada dua. Itu pun hadiah dari Mahes dan Bapak, dulu.
Katanya, biar aku terlihat seperti wanita. Cara jalanku yang memang seperti preman ini, adalah penyebab mereka membelikanku dress. Sengaja, untuk aku berlatih agar terlihat lebih feminim.
Ah, masa bodo! Kemeja flanel oversize polos berwarna hitam ini tidak buruk aku kenakan sebagai outer. White jeans sebawah lutut, dengan flat shoes berwarna sama dengan jeans yang ku pakai ini cukup membuatku percaya diri.
Aku memutuskan untuk mengikat rambutku, cuaca hari ini seratus persen bisa membakar kulitku. Kotaku memang amat sangat panas, bung!
"Pak, gimana hasil chek up kemarin?"
Aku yang berniat langsung kabur keluar, akhirnya melipir duduk di samping bapak. Padahal seharusnya tadi langsung aku tanyakan, alih-alih aku menyombong dipanggil untuk wawancara.
"Baik, tidak ada yang memburuk," kata bapak, membuatku lekas menghela napas lega.
Itu tandanya kondisi bapak sama saja. Sama seperti hari kemarin, dadanya masih terasa sesak saat bernapas. Aku, aku masih selalu menangis tiap kali mendengar helaan napas bapak yang memberat, diiringi rasa sakit yang tidak mampu orang lain baca.
"Pasti sembuh, Alice yakin bapak bakal bisa menjalani aktivitas seperti sebelumnya."
Bapak tersenyum, lalu aku melihat kaki bapak. Ya Tuhan, sejak kapan tumpukan daging di sana menghilang? Aku hanya melihat bapak saat dia menyuruhku memijit kepalanya, meski darahku kurang, tenagaku cukup kuat.
"Iya Alice, Bapak, kan, sudah janji bakal jadi wali nikah kamu. Udah sana, katanya mau kencan." Aku tersenyum kemudian mengambil tangan bapak untuk aku cium.
"Alice berangkat, Pak. Pulangnya mau Alice bawain apa?"
"Sate ayam," jawab bapak membuatku tersenyum merekah.
Bapak yang sudah lama kehilangan nafsu makannya, hari ini meminta sesuatu untuk aku bawa pulang.
"Siap, komandan! Nanti Alice bawain. Alice pamit, janji pulang dibawah jam sembilan malem! Lagian main sama temen cewek doang."
"Silahkan, tapi kalau main sama anak cowo bawa dulu ke rumah, ya."
"Ish, Bapak ngaco! Pokoknya Alice berangkat, jangan lupa minum obat, Pak Bro!"
Bapak lagi-lagi menggeleng pelan melihat aku lekas tergesa pergi keluar.
"Anak itu, aku kira masih kanak-kanak. Ternyata sudah dewasa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Paranoia (Tamat)
Non-FictionIni kisah tentang Alice Keinnara. Si pemimpi paling egois yang selalu ingin menang atas segalanya. Namun, setelah dewasa, dia menemui dirinya yang kalah oleh keadaan, dan patah oleh kenyataan. Dewasa adalah gerbang neraka bagi Alice, tempat manusia...